Page 130 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 130

www.rajaebookgratis.com





                   Goughsky menyetujui ide Kak Laisa, apalagi yang mereka tunggu?
                   Maka malam itu Goughsky melakukan kesalahan fatal. Karena dia amat yakin Yashinta
               juga menyukainya. Mereka sudah lebih dari dewasa. Sudah lebih dari siap untuk berkeluarga.
               Tanpa  bicara  terlebih  dahulu  dengan  Yashinta,  ketika  mereka  berkumpul  di  ruang  depan
               rumah panggung, sambil menyentuh takjim lengan Mamak, Goughsky meminang Yashinta.
                   Saat Goughsky mengatakan kalimat,
               "Umurku enam tahun saat Ayah-Ibu pergi ditelan badai salju.... Bertahun-tahun hidup tanpa
               keluarga.... Sesak atas kerinduan  memiliki ayah,  ibu, kakak, adik, sebuah keluarga... Baru
               sehari di sini, tidak pernah kubayangkan, seperti menemukan kembali makna keluarga yang
               utuh.... Mamak, aku sejak kecil tidak pemah belajar dengan baik arti kasih sayang keluarga....
               Malam ini, ijinkan aku belajar kata-kata itu, ijinkan aku menjadi bagian dari keluarga ini....
               Ijinkan... ijinkan aku memperistri Yashinta. Aku sungguh mencintainya...."
                   Ruang depan itu senyap. Bahkan Intan yang tadi sibuk merengek minta dibuatkan ukiran
               beruang salju juga diam. Mamak menatap wajahGoughsky lamat-lamat. Lantas menoleh ke
               arah Yashinta. Kak Laisa menyeka pelupuk matanya, terharu. Cie Hui menggenggam jemari
               Dalimunte.Tersenyum. Ikanuri dan Wibisana sih nyengir lebar, lumayan, tapi masih saktian
               kalimat mereka dulu waktu melamar Wulan dan Jasmine.
                   Mamak menunggu anggukan dari Yashinta. Menatap Yashinta yang entah mengapa justru
               diam seribu bahasa. Sejak dulu, bagi Mamak, urusan perjodohan tergantung anak-anaknya. Ia
               tidak melarang, tapi juga tidak menyuruh. Sepanjang calon pasangan mereka berakhlak baik,
               bertanggung-jawab, pandai  membawa diri, dan saling  menyukai,  itu sudah  cukup. Sisanya
               bisa dicari saat menjalani pernikahan.
                   Lima  belas  detik  senyap.  Sekarang  semua  menoleh  ke  arah  Yashinta.  Dan  celakanya,
               gadis itu mendadak berdiri. Melangkah keluar, melewati pintu depan. Menuruni anak tangga.
               Berlarian menuju lereng perkebunan.
               "YASH!" Goughsky terkesiap, bangkit berdiri, hendak mengejar. Bingung. Tidak mengerti.
               Bagaimanalah jalan cerita berubah jadi seperti ini? Ada apa dengan Miss Headstone-nya?
               "Biar.... Biar aku yang menyusulnya!" Kak Laisa menahan lengan Goughsky. Tentu saja Kak
               Laisa tahu permasalahannya. Biar ia yang mengajak bicara Yashinta. Goughsky yang tidak
               terlalu  paham  masalahnya  justru  akan  membuat  semuanya  menjadi  puing  tidak
               terselamatkan. Membuat rasa suka itu menjadi kebencian.
                   Yashinta  keras  kepala.  Gadis  itu  sejak  kecil  amat  keras  kepala.  Sekali  ia  mengambil
               keputusan,  maka  butuh  waktu  lama  melunakkannya.  Kak  Laisa  tahu  betul  itu.  Urusan  ini
               benar-benar tidak akan mudah seperti Dalimunte, seperti dua sigung nakal itu.
               "Kau  menyukainya?"  Kak  Laisa  bertanya  tegas.  Memegang  lengan  Yashinta  yang  duduk
               menjeplak di lembabnya tanah.
                   Bulan sabit seperti digelantungkan menghias langit. Bintang-gemintang.
                   Wangi semerbak perkebunan menyergap hidung.Yashinta hanya diam.
                   Menyeka matanya yang basah.
               "Kau menyukainya atau tidak?" Kak Laisa mendesak.Yashinta tetap diam seribu bahasa.
               "Kakak  tahu  sekali  apa  yang  kau  pikirkan,  Yash....  Tahu  sekali....  Apa  yang  dulu  Kakak
               sering bilang? Kau tidak usah menunggu Kakak.... Menunggu sesuatu yang mungkin tidak
               akan—"
               "Tapi harusnya Goughsky bilang ke aku.... Bilang sebelum menyampaikannya ke Mamak!"
               Yashinta memotong.
               "Apa  bedanya,  Yash?  Kau  jelas  menyukai  Goughsky.  Bukan  itu  masalahnya,  kan?  Bukan
               soal bilang dulu masalahnya hingga kau lari begitu saja dari ruang depan?"
               Yashinta diam kembali. Menyeka pipinya.
               "Kalau kau marah Goughsky tidak bilang dulu, kau sepatutnya marah pada Kakak... Karena
               Kakak lah yang memintanya melakukannya segera."
   125   126   127   128   129   130   131   132   133   134   135