Page 145 - USHUL FIKIH_INDONESIA_MAPK_KELAS XII_KSKK
P. 145
b. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak
terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan
menyapu kepala merupakan khilaf di kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya
ataukah sebagian saja. Demikian pula batalnya wudhu' dengan menyentuh
perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang
membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada sisi
yang disepakati (ijma').Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq
telah dilandaskan pada dasar yang salah yaitu qiyas ma'al faariq.
Apabila ulama Hanafiyah mengklaim ijma' atas keharaman talfiq, akan tetapi
realita yang ada sangat bertentangan. Ulama-ulama terpercaya seperti Al-Fahâmah
Al-Amîr dan Al-Fâdhil Al-Baijuri telah menukilkan apa yang menyalahi dakwaan
ulama Hanafiyah tersebut. Maka klaim adanya ijma' adalah bathil.
Berkata Al-Syafsyawani tentang penggabungan dua mazhab atau lebih dalam
sebuah masalah:” Para ahli ushul berbeda pendapat tentang hal ini. Yang benar
berdasarkan sudut pandang adalah kebolehannya (talfiq).”Prof. Dr. Wahbah Az
Zuhaili berkata:” Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa keharaman talfiq
merupakan ijma', maka hal itu adakala dengna i'tibar ahli mazhab (ijma' mazhab
Hanafi), atau dengan i'tibar kebanyakan. Dan adakala juga berdasarkan pendengaran
ataupun persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahan telah menjadi ijma',
pastilah ulama mazhab yang lain telah menetapkannya (mengatakannya) juga....”
2. Argumentasi Kelompok yang Membolehkan Secara Mutlaq
Para ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil dengan beberapa
alasan:Alasan Pertama Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah
yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak
untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid
kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain.
Di kalangan para shahabat nabi saw terdapat para shahabat yang ilmunya
lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan
mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada
Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu
Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda
untuk menjawab satu kasus yang sama.Namun tidak seorang pun dari para shahabat
yang berilmu itu yang menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya
USHUL FIKIH - KELAS XII 136