Page 94 - Rencana & Cerita Pendek Lainnya
P. 94
hijau dan beberapa pohon ek besar yang menjulang,
dengan lanskap danau yang airnya terlihat berkilauan.
Para pelayan yang menyusul kami, kemudian menggelar
tikar kain di rerumputan, lalu menata bekal yang sudah
disiapkan nyonya Dally untuk kami.
Aku langsung menyambar sepotong biskuit buatan
nyonya Dally dan mengunyah dengan lahap.
Paman Henry duduk di sampingku.
“Jadi kalau paman adalah ayahmu, apakah itu
merupakan masalah besar?”
Aku memandangnya sambil tersenyum.
“Paman ataupun ayah, kamu adalah sahabatku, itu yang
lebih penting,” jawabku.
Ia tersentak kaget dengan perkataanku. Paman Henry
tertawa, tetapi matanya terlihat berkaca-kaca. Ia seperti
hendak menangis, tetapi sekaligus tertawa di saat yang
bersamaan.
“Aku tidak akan membiarkan kamu tumbuh besar tanpa
seorang ayah yang bisa mendidikmu dengan baik,”
katanya sambil memelukku erat.
“Tenang, ayah. Kita punya banyak waktu untuk belajar.
Sekarang waktunya biskuit,” perkataanku membuatnya
tertawa lepas.
“Ya, kita punya banyak waktu untuk itu. Ibumu akan
marah besar setelah dia balik nanti,” katanya.
91