Page 36 - Toponim Magelang_Final
P. 36

Toponim Kota Magelang     23












                      Terealisasinya jalur kereta api melewati pusat Kota Magelang ini mengawali periode baru
                      dalam perkembangan Kota Magelang menuju suatu pusat pemukiman, perekonomian,
                      pemerintahan, dan  aktivitas  sosial  yang  menunjukkan  unsur-unsur  kota modern.
                      Kondisi ini dijadikan pertimbangan dari para petinggi kolonial di permulaan abad XX
                      untuk menentukan Magelang sebagai salah satu kota yang dianggap layak mendapatkan
                      status sebagai Kotapraja (Gemeente).

                      Magelang pada periode Jepang dan Revolusi mempunyai kisah historis yang menarik
                      untuk disinggung di sini. Merujuk Undang-Undang  Nomor 27 perihal  Perubahan
                      Tata Pemerintahan Daerah, seluruh tanah Jawa dan Madura, kecuali Surakarta
                      dan Yogyakarta, dipilah menjadi syu, syi, ken, gun, son, dan ku. Area syi sama seperti
                      stasdgemeente, ken (kabupaten), gun (kawedanan), son (order distrik atau kecamatan),
                      dan ku (desa atau kelurahan). Kepala daerah syu, syi, ken, gun, dan ku diangkat seorang
                      syuco, syico, kenco, gunco, dan kuco. Dengan pemilahan di muka, Propinsi Jawa Barat, Jawa
                      Tengah, Jawa Timur dihapuskan.


                      Periode pendudukan Jepang, Magelang yang juga kabupaten punya otonomi penuh.
                      Bupati atau kenco Magelang, yakni R.A.A Sosrodiprodjo. Kabupaten Magelang bagian
                      dari Keresidenan Kedu (syu Kedu), dan Raden Panji Soeroso sebagai Residen (syutyokan).
                      Wilayah ini membawahi Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Kebumen, Magelang,
                      dan Kotapraja (syi) Magelang.  Kondisi ekonomi masyarakat Magelang era ini terbilang
                                               44
                      sulit. Sebagian hasil pangan rakyat dirampas Jepang guna memenuhi kebutuhan logistik
                      dan  biaya  perang melawan  Sekutu. Padahal, masyarakat beranggapan, tumbangnya
                      pemerintah Belanda  dan digantikan Jepang, penderitaan  dan kesengsaraan rakyat
                      berkurang. Tapi kepedihan warga malah bertambah.

                      Pada 15 Agustus 1945 Jepang bertekuk lutut terhadap Sekutu. Situasi ini dimanfaatkan
                      golongan muda menyiapkan proklamasi kemerdekaan selagi Indonesia vakum kekuasaan.
                      Tanggal 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Berita
                      proklamasi tidak langsung diterima warga Magelang. Dua hari kemudian, 19 Agustus
                      1945, tengah malam hingga pukul 5 pagi, barisan Pelopor menggelar rapat menyoal
                      persiapan perubahan politik di Magelang usai terdengar warta Jepang menyerah. Dalam
                      rapat, Sosrodiprodjo menghimbau barisan Pelopor supaya tenang menghadapi kahanan
                      ini. Syotyokan Raden Panji Soeroso sepulang dari Jakarta juga memahami perubahan
                      politik.


                      44  Periksa Yan Driya Samodra. “Peranan Masyarakat Magelang dalam Mempertahankan Kemerdekaan
                      Republik Indonesia Tahun 1948-1949”. Skripsi. (Pendidikan Sejarah, FIS: UNY: Yogyakarta, 2014).
   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41