Page 104 - S Pelabuhan 15.indd
P. 104
besar harta benda ber harga, ……. Ilamuridesam kekuatannya yang
dahsyat; Manakka va ram....; dan Ka da ram yang kekuatannya dahsyat,
yang dilin dungi oleh lautan dalam” (Coedes 1968,142-143; Hall
1988, 57).
Itulah sepenggal isi Prasasti Tañjore yang menyebutkan Lamuri dengan
sebutan Ilamuridesam sebagai sebuah tempat yang mempunyai
kekuatan besar. Ini artinya, ketika Rājendracōla menyerang Sumatera,
ia berbenturan dengan kekuatan tentara yang besar. Menurut prasasti
ini meskipun Lamuri mempunyai kekuatan besar, namun orang-
orang Cōla menyebutkannya dengan istilah “desa”. Lain halnya
dengan Marcopolo yang pernah singgah di Sumatera bagian utara.
Ia menyebutkannya sebagai nama sebuah wilayah. Namun dapat
dipastikan bahwa nama Bandar Aceh Darussalam yang letaknya di
muara sungai Aceh, adalah nama yang merupakan kelanjutan atau
perubahan dari nama Lamuri (Ambary 1998, 136).
Keletakkan Bandar Aceh Darussalam yang dulunya bernama Lamuri
sangat strategis, karena terletak di ujung pintu masuk Selat Melaka
yang merupakan jalur pelayaran penting dari India ke Cina. Juga
Prasasti Neusu, Banda Aceh,
di tempat ini disalurkan komoditi perdagangan yang berasal dari
beraksara Grantha dan
berbahasa Tamil. hutan-hutan di Sumatera. Komoditi ini berupa kemenyan, kapur barus, kapulaga dan
mungkin amber (sejenis getah yang sudah “memfosil”) yang berasal dari hutan-hutan
di Sumatera bagian barat, dan dikapalnya melalui pelabuhan Tiku dan Barus untuk
selanjutnya dibawa ke Lamuri.
Bandar Lamuri atau Bandar Aceh Darussalam, dan kemudian menjadi Banda Aceh
adalah tempat berkumpulnya para saudagar yang berasal dari berbagai bangsa seperti
Cina dan Tamil. Keberadaan komunitas saudagar Tamil seperti diketahui dari sebuah
prasasti beraksara Grantha dan berbahasa Tamil yang ditemukan di Banda Aceh.
Berdasarkan typografi nya, agaknya sejaman dengan prasasti batu yang ditemukan di
Barus yang berasal dari tahun 1088 Masehi. Isinya (Prasasti Barus) menye butkan
bahwa pada bulan Māsi (Fe bruari-Maret) tahun 1010 Śaka (1088 Masehi), “Yang
kelima ratus dari seribu arah” telah menyuruh me mahat dan menancapkan batu
(prasasti) ini (Subbarayalu 2002, 20). Prasasti Tamil dari Banda Aceh ini belum
92 dibaca, namun pertanggalannya diperkirakan berasal dari sekitar abad Ke-11 Masehi.