Page 87 - Beberapa Pemikiran Status Tanah dan Dinamikanya
P. 87

administratif. Hal ini dapat kita telusuri sejak Pemerintahan Hindia
            Belanda pada tahun 1906 yang menfokuskan pada Desa Jawa (Inlandsche
            Gemeente Ordonnantie). Studi Desa pada Jaman Pemerintahan Hindia
            Belanda, dapat dirujuk beberapa tulisan/hasil karya R. Soepomo, J.H.
            Boeke, DH. Burger., E de Vries dan J. C. Breman. Sebagai contoh karya
            tulis tentang Desa di Makasar (A.A. Cense), Batak (J.H. Neumann),
            Ambon (J. Keuning), Bali (R. Goris), dan Minangkabau (BJO Shrieke).
            Kemudian setelah Indonesia merdeka, dapat dirujuk karya ilmiah
            Soetardjo Kartohadikoesoemo (1953) yang orientasinya ke Pedesaan
            Jawa dengan topik: 1) bentuk desa, 2) masyarakat penduduk hukum
            asli; 3) pemerintah desa; 4) rumah tangga desa; dan 5) desa sebagai
            daerah otonom. Pada jaman setelah Orde Baru, terdapat studi tentang
            desa oleh Koentjaraningrat (1964), Sajogyo (1973), Bayu Suryaningrat
            (1981), Dorojatun Kuntjorojskti (1982), Loekman Soetrisno (1988),
            SMP Tjondronegoro (1996), Mubyarto (1996), Philip H. Combs dan
            Manzor Ahmed (1984).
                  Secara kronologis, pada jaman Pemerintahan Kolonial Belanda
            (1906) otonomi pada pemerintahan desa diatur dengan (IGO untuk
            desa di Jawa dan IGOB untuk desa di Luar Jawa); selanjutnya pada tahun
            1958-1965 dengan UU Nomor 19 Tahun 1965 mencabut Ordonantie
            Nomor 212 Tahun 1907 ada usaha untuk mendirikan pemerintahan
            tingkat tiga dengan nama “Desapradja”. Namun, upaya tersebut tidak
            sempat terlaksana karena adanya beberapa Instruksi Menteri Dalam
            Negeri yang melarang pelaksanaannya.

                Setelah diundangkan UU Nomor 5  Tahun 1979 tentang
            Desa, dikenal adanya desa keturunan (geneologis) dan desa teritorial.
            Berdasarkan UU itu pula, secara administratif di tingkat bawah dikenal
            dua bentuk , yaitu “Kelurahan dan Desa” yang merupakan titik puncak
            dari kecenderungan “formalisasi desa”. Dengan diberlakukannya UU
            Nomor 5 Tahun 1979 tersebut, cirri-ciri birokrasi mulai terasa, lambat
            laun atau secara bertahap mengurangi otonomi desa, sehingga dalam
            jangka panjang pengertian desa geneologis (keturunan) akan hilang
            dan tingal tersisakan desa territorial administratif saja.



                                          72
   82   83   84   85   86   87   88   89   90   91   92