Page 42 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 42
informan dari pemerintah. Kemudahan akses ini juga ditambah
dengan interaksi yang relatif berjalan baik paska reformasi.
Di kalangan pemerintahan juga mulai banyak yang terbuka,
termasuk didalamnya interaksi peneliti dengan JW sebagai
kepala BPN dan beberapa informan lain di BPN. Dalam beberapa
kesempatan, peneliti terlibat dalam pertemuan yang terjadi
antara JW beserta jajarannya dengan aktivis reforma agraria dan
para petani. Untuk mendapatkan informasi tambahan terkait
informan dari pemerintah, peneliti juga meminta informasi dari
aktivis reforma agraria yang juga terlibat secara langsung dengan
pemerintah seperti US dan NF.
Tantangan menarik lainnya dalam penelitian ini adalah
bagaimana peneliti mampu untuk dapat “melepaskan diri”
dari kepentingan perjuangan reforma agraria. Sebagai sebuah
penelitian yang melihat implikasi buruk dari reforma agraria,
tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan besar dalam diri
peneliti yang juga turut mengupayakan agar reforma agraria
bisa menjadi agenda kebijakan pemerintahan. Ada kekhwatiran
dari peneliti bahwa penelitian ini justru dapat membuat
pemerintah menghilangkan reforma agraria dalam agenda
kebijakannya. Namun demikian, kekhawatiran tersebut hilang
karena bagaimanapun sebuah kebijakan yang baik harus juga
mendapatkan kritik untuk menghasilkan kebijakan yang lebih
baik lagi di kemudian hari.
Begitu pula tantangan dari sesama aktivis reforma agraria
atau pun petani. Tantangan ini juga terkait dengan implikasi dari
hasil penelitian dimana terlihat kecenderungan bahwa reforma
agraria yang diperjuangkan di Cipari adalah reforma agraria
yang gagal. Padahal para petani dan aktivis reforma agraria telah
Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 25