Page 57 - ISLAM DAN AGRARIA TElaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam Dalam merombak Ketidakadilan Agraria
P. 57
a) Mengumpulkan tanah yang mengelilingi lahan mati tersebut hingga
tanah tersebut menjadi batas yang memisahkan lahan mati dengan
lahan lainnya.
b) Mengalirkan air kepadanya, jika lahan mati tersebut kering, dan
tidak mengirim air kepadanya jika lahan mati tersebut dalam
bentuk saluran air, karena menghidupkan lahan kering ialah
dengan mengalirkan air kepadanya dan menghidupkan saluran
air ialah menahan air dari padanya, hingga lahan mati tersebut
memungkinkan ditanami dalam kedua kondisinya.
c) Membajaknya.
Al-Mawardi berpendapat, jika ketiga syarat tersebut telah dipenuhi,
terealisirlah menghidupkan lahan mati dan sah kepemilikan orang yang
menghidupkannya. Jika lahan mati telah dihidupkan, kemudian ditanami
orang lain, maka orang yang mengidupkannya tetap menjadi pemilik
lahan dan penanam menjadi pemilik tanamannya. Jika pemilik lahan
mati ingin menjual lahan yang telah ia hidupkan, maka diperbolehkan.
Jika pemilik tanaman di atas lahan mati ingin menjual tanamannya,
maka Imam Malik berpendapat ia boleh menjualnya. Hal tersebut senada
dengan pendapat Imam Syafi’i, dimana orang tersebut boleh menjual
pohon atau tanaman di atasnya, akan tetapi ia tidak boleh menjualnya
jika di atas tanah tersebut berupa bangunan, sedangkan Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa orang tersebut boleh menjual tanamannya
jika ia membajak tanah tersebut.
Al-Mawardi berpendapat, jika sesorang membuat tanda dengan
batu pada lahan mati, maka ia lebih berhak menghidupkannya dari
pada orang lain. Jika kemudian lahan mati tersebut dikuasai oleh orang
yang menghidupkannya, orang yang menghidupkannya lebih berhak
dari pada mutahajjir . Jika mutahajjir ingin menjual lahan mati tersebut,
57
namun ia belum pernah menghidupkannya, menurut mazhab Syafi’i
57. Mutahajjir adalah orang yang membuat tanda dengan batu pada lahan mati.
40 Islam dan Agraria