Page 52 - Level B1_Isi APa yang lebih seru? SIBI.indd
P. 52

Aku memberanikan diri untuk membuka jendela                                    Pulang dari musala, Papa menanyakan alergiku.
             dan berusaha mencari dari mana arah suara drumben                              “Aman,” sahutku sambil menunjukkan tangan dan kakiku
             itu. Sayang, suaranya malah menghilang. Sudahlah,                              yang tak lagi merah-merah.
             sebaiknya aku kembali tidur. Namun, suara drumben
                                                                                                “Mau sarapan dulu?” tanya Papa sambil menunjuk
             tadi masih terngiang-ngiang di telingaku. “Ini pasti hanya
                                                                                            warung Mbah Rusmi yang berjualan bubur lemu.
             mimpi, mimpi, mimpi!” aku merapal kalimat dan berusaha
             memejamkan mata.                                                                   Aku tak menjawab, hanya nyengir lebar saja. Kurasa
                                                                                            Papa sudah tahu apa jawabanku. Aku tak suka bubur
                 Meski akhirnya aku bisa tidur, tetapi beberapa kali
                                                                                            lemu. Itu bubur nasi yang disiram kuah santan yang uups
             suara drumben itu masuk lagi ke dalam tidurku. Suaranya
                                                                                            … aku tak boleh mengolok-olok makanan sini. Tatapan
             begitu dekat, seolah nyata. Gara-gara itu, tidurku jadi tak
                                                                                                  Wir  membay  pikirank
             nyenyak. Tiba-tiba saja sudah pukul empat lebih lima
                                                                                            bubur lemu kan khas Solo?
             belas menit. Aku mendengar suara azan subuh, aku harus
             bersiap untuk salat.                                                               “Heh, malah bengong. Gimana, mau tidak?” tanya
                                                                                            Papa lagi.
                 “Ma, mana Papa?” tanyaku pada Mama yang sedang
             menggelar sajadahnya. Biasanya aku dan Papa selalu                                 Aku menggeleng. Solo, Yogya, sama saja. Masakannya
             salat di musala dekat rumah.                                                   manis. Dulu kukira yang namanya sambal goreng itu ya
                                                                                              y  digoreng    terny    k    y
                 “Wah, kau iko cak mano? Masa tak kenal suara Papa                                pedas  Warnany    y  mer
             sendiri? Papamu jadi muazin, tadi yang azan kan Papa,”
                                                                                            merona, tetapi rasanya kurang pedas.
             sahut Mama.
                                                                                                Papa memutuskan untuk mampir membeli bubur
                 Aku bengong, sejak kapan Papa jadi muazin?
                                                                                            lemu. “Buat mantan pacar Papa,” kata Papa dengan genit.
             Bukannya mau mengejek, ya. Papa itu ngomong saja
             sumbang, apalagi azan. Kata orang-orang, azan itu                                  Ampun, Papa dan Mamaku ini kan sudah tua, ya?
             selain harus benar, juga sebaiknya dilantunkan dengan                          Papa bahkan sudah kepala empat. Namun, mereka masih
             indah.  Eh,  tapi  tadi  azannya  lumayan  merdu,  sih. Apa                    seperti orang pacaran. Kadang geli melihatnya.
             benar itu Papa? Hmm, barangkali Papa sering latihan                                “Eh, cah ngganteng. Apa kabar?” sapa Mbah Rusmi.
             tanpa sepengetahuanku. Atau, barangkali ini keajaiban.
                                                                                                Aku tersenyum dan menjawab, “Baik, Mbah.”
             Bukankah tidak ada yang tak mungkin di dunia ini?
                                                                                                Papa menyenggolku. “Maksud Mbah Rusmi bukan
                 “Buruan, Bujang! Jangan bengong. Nanti telat pula
                                                                                            kamu, tetapi Papa. Iya, kan, Mbah? Yang ganteng saya,
             kau!” Mama menyambitkan mukenanya padaku. Aku pun
                                                                                            kan?”
             terbirit-birit menuju musala.


              44      Misteri Drumben Tengah Malam                                                                 Bab 6 Bunyi Tengah Malam  45
   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57