Page 53 - Level B1_Isi APa yang lebih seru? SIBI.indd
P. 53

Aku memberanikan diri untuk membuka jendela  Pulang dari musala, Papa menanyakan alergiku.
 dan berusaha mencari dari mana arah suara drumben  “Aman,” sahutku sambil menunjukkan tangan dan kakiku
 itu. Sayang, suaranya malah menghilang. Sudahlah,  yang tak lagi merah-merah.
 sebaiknya aku kembali tidur. Namun, suara drumben
                   “Mau sarapan dulu?” tanya Papa sambil menunjuk
 tadi masih terngiang-ngiang di telingaku. “Ini pasti hanya
               warung Mbah Rusmi yang berjualan bubur lemu.
 mimpi, mimpi, mimpi!” aku merapal kalimat dan berusaha
 memejamkan mata.   Aku tak menjawab, hanya nyengir lebar saja. Kurasa
               Papa sudah tahu apa jawabanku. Aku tak suka bubur
 Meski akhirnya aku bisa tidur, tetapi beberapa kali
               lemu. Itu bubur nasi yang disiram kuah santan yang uups
 suara drumben itu masuk lagi ke dalam tidurku. Suaranya
               … aku tak boleh mengolok-olok makanan sini. Tatapan
 begitu dekat, seolah nyata. Gara-gara itu, tidurku jadi tak
                     Wir  membay  pikirank
 nyenyak. Tiba-tiba saja sudah pukul empat lebih lima
               bubur lemu kan khas Solo?
 belas menit. Aku mendengar suara azan subuh, aku harus
 bersiap untuk salat.   “Heh, malah bengong. Gimana, mau tidak?” tanya
               Papa lagi.
 “Ma, mana Papa?” tanyaku pada Mama yang sedang
 menggelar sajadahnya. Biasanya aku dan Papa selalu  Aku menggeleng. Solo, Yogya, sama saja. Masakannya
 salat di musala dekat rumah.   manis. Dulu kukira yang namanya sambal goreng itu ya
                 y  digoreng    terny    k    y
 “Wah, kau iko cak mano? Masa tak kenal suara Papa         pedas  Warnany    y  mer
 sendiri? Papamu jadi muazin, tadi yang azan kan Papa,”
               merona, tetapi rasanya kurang pedas.
 sahut Mama.
                   Papa memutuskan untuk mampir membeli bubur
 Aku bengong, sejak kapan Papa jadi muazin?
               lemu. “Buat mantan pacar Papa,” kata Papa dengan genit.
 Bukannya mau mengejek, ya. Papa itu ngomong saja
 sumbang, apalagi azan. Kata orang-orang, azan itu  Ampun, Papa dan Mamaku ini kan sudah tua, ya?
 selain harus benar, juga sebaiknya dilantunkan dengan  Papa bahkan sudah kepala empat. Namun, mereka masih
 indah.  Eh,  tapi  tadi  azannya  lumayan  merdu,  sih. Apa  seperti orang pacaran. Kadang geli melihatnya.
 benar itu Papa? Hmm, barangkali Papa sering latihan  “Eh, cah ngganteng. Apa kabar?” sapa Mbah Rusmi.
 tanpa sepengetahuanku. Atau, barangkali ini keajaiban.
                   Aku tersenyum dan menjawab, “Baik, Mbah.”
 Bukankah tidak ada yang tak mungkin di dunia ini?
                   Papa menyenggolku. “Maksud Mbah Rusmi bukan
 “Buruan, Bujang! Jangan bengong. Nanti telat pula
               kamu, tetapi Papa. Iya, kan, Mbah? Yang ganteng saya,
 kau!” Mama menyambitkan mukenanya padaku. Aku pun
               kan?”
 terbirit-birit menuju musala.


 44  Misteri Drumben Tengah Malam     Bab 6 Bunyi Tengah Malam  45
   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58