Page 96 - ilovepdf_merged (11)
P. 96
Keempat, sosialisasi pendidikan
kewarganegaraan. Pembentukan warga negara yang
memiliki keadaban demokrasi dan demokrasi
berkeadaban bisa dilakukan secara efektif hanya
melalui pendidikan kewarganegaraan.
8. Islam dan Demokrasi
Perdebatan tentang hubungan antara Islam dan
demokrasi sebagaimana diakui oleh Mun’im A. Sirry
memang masih menjadi perdebatan yang belum
terselesaikan. Berdasarkan pemetaan yang
dikembangkan oleh Jhon L. esposito dan James P.
Piscatory (Syukron Kamil, 2002) secara umum dapat
dikelompokkan dalam tiga kelompok pemikiran.
Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem
politik yang berbeda. Islam dipandang sebagai
sistem politik alternatif terhadap demokrasi.
Demokrasi sebagai sistem Barat tidak tepat untuk
djadikan acuan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Sementara Islam sebagai agama Kaffah
yang tidak hanya mengatur aspek teologi (akidah)
dan ibadah, tetapi mengatur segala aspek kehidupan
umat manusia. Ini diungkapkan oleh elite Kerajaan
Arab Saudi dan elite politik Iran pada masa awal
revolusi Iran, Syekh Fadh Allah Nuri, Sayyid Qutb,
Thabathabi, al-Sya’rawi dan Ali Benhadj. Kedua,
kelompok yang menyatakan bahwa Islam dan
demokrasi merupakan konsep yang sejalan setelah
diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep
demokrasi itu sendiri. Di antara tokoh dari kelompok
ini adalah al-Maududi, Abdul Fattah Morou dan tauiq
asy-Syawi. Di Indonesia diwakili oleh Mohammad
Natsir dan Jalaluddin Rahmat. Ketiga, Islam adalah
sistem nilai yang membenarkan dan mendukung
sistem demokrasi. Pandangan ini yang paling
dominan yang ada di Indonesia, karena demokrasi
sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan
Indonesia dan negara-negara Islam lainnya. Di
antara tokohnya, yaitu Fahmi Huwaidi, al-Aqqad, M.
Husain Haekal, dan Robert N. Bellah. Di Indonesia
89