Page 145 - qowaid
P. 145
QAWA’ID FIQHIYYAH
pertentangan antara hakikat dengan adat atau majaz
dengan adat, maka adat diunggulkan karena memiliki
petunjuk atau penjelasan dalil dan meninggalkan hakikat.
Dalam hal ini perlu dipahami bahwa apabila dalam
hakikat tersebut terdapat halangan, maka hakikat
ditinggalkan. Namun, apabila terjadi pertentangan antara
hakikat dengan adat dan dalam hakikat tidak terdapat
halangan, maka hakikatlah yang diamalkan.
Contoh aplikasi kaidah ini adalah sebagai berikut:
1) Penjual tidak boleh membatalkan jual beli meskipun
harganya naik atau menjual barang yang sudah dibeli
seseorang dengan menggunakan tanda jadi (uang
muka) kepada orang lain karena memang jual beli
tersebut belum terlaksana sepenuhnya. Dalam kasus
ini adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat jika
setelah sebagian harga barang tersebut dibayar oleh
pembeli, maka dianggap telah terjadi akad jual beli di
antara keduanya. Oleh karena itu adat dianggap
sebagai petunjuknya.
2) Seseorang yang ingin mewakafkan tanahnya dengan
berkata: “saya wakafkan tanah ini untuk pesantren.
Perkataan “pesantren” di sini tidak dikhususkan oleh
wakif pesantren apa yang ia kehendaki saat
mewakafkan tanahnya. Sedangkan fungsi secara umum
dari pesantren adalah sebagai tempat belajar
memperdalam ilmu agama.
k. Kaidah
ْ
ْ
ْ َ
ىِظفللا نذلإاَك ىِف ْ رُعلا ُنذلإا
ِ ِ
ِ
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama
dengan pemberian izin menurut ucapan”.
1) Diperbolehkan seorang tamu memakan makanan yang
telah dihidangkan oleh tuan rumah, meskipun tuan
rumah tidak mempersilahkannya. Hal ini karena
menurut adat atau kebiasaan bahwa menghidangkan
itu sama dengan mempersilahkan.
2) Seseorang yang mengetahui teman dekatnya selalu
ridho jika menggunakan atau memanfaatkan barang
yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan kaidah di atas
134