Page 143 - qowaid
P. 143
QAWA’ID FIQHIYYAH
Redaksi kaidah ini dalam sebagian referensi sedikit
berbeda, namun arti dan maksudnya tetap sama, yaitu
kata ta’yin (ketentuan) diganti dengan kata dhabit
(ketetapan), sehingga berbunyi al-dhabit bi al-‘urf ka al-
dhabit bi al-nas. Maksud kaidah ini tidak jauh berbeda
dengan kaidah sebelumnya, hanya saja kaidah ini lebih
memperkuat aspek legalitasnya. Artinya posisi sebuah
hukum yang didasarkan pada adat (tradisi) dengan
beberapa ketentuannya itu bisa sejajar kekuatan legalitas
hukumnya dengan nash syariat.
Kesimpulannya sebuah ketetapan hukum atas dasar adat
itu sama seperti ketentuan hukum atas dasar nash syariat
Islam. Sehinggga tidak ada alasan bagi siapapun untuk
menolaknya, terlebih jika telah diputuskan hakim dalam
sebuah sengketa misalnya perdata.
Contoh aplikasi kaidah ini adalah sebagai berikut:
1) Sewa menyewa rumah. Dalam masalah ini biaya
tagihan listrik sudah menjadi kebiasaan si penyewa
yang menanggungnya bukan si pemilik rumah.
Ketetapan tersebut memiliki ketentuan yang sejajar
dengan ketentuan hukum atas dasar nash. Sehingga
tidak ada alasan untuk menolaknya karena ini sudah
menjadi tradisi dalam sewa menyewa rumah.
2) Adat atau kebiasaan dalam penggunaan barang sewa.
Semisal orang menyewa mobil, maka keluarga,
saudara, teman, atau siapapun boleh ikut menaikinya
karena sudah menjadi kebiasaan setelah mobil itu di
sewa sudah menjadi hak penuh bagi penyewa dalam
penggunaannya.
i. Kaidah
ً ةَقْيِقَح عِنَتْمملاَك ًةَداَع ُعِنَتْمُملا
ْ
ِ
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan
seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”.
Sebelum menjelaskan maksud dari kaidah ini perlu
kiranya memerinci dua pernyataan yang ada. Pertama,
maksud dari mumtani’ al-‘adah merupakan sesuatu yang
kecil kemungkinan atau bahkan tidak mungkin terjadi
menurut kebiasaan yang berlaku. Kedua, mumtani’ al-
132