Page 138 - qowaid
P. 138
QAWA’ID FIQHIYYAH
perselisihan pendapat. Menurut pendapat Imam Rafi’i
bahwa kasus tersebut hendaknya dikembalikan
kepada adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat
tersebut. Apabila dari sudut adat kebiasaan ada
perselisihan, maka hendaknya ada penjelasan. Jika
tidak, maka hukumnya batal akad sewa menyewa
tersebut.
c. Kaidah
َّ
َ َ
ٌروُص ِهْيِف .ط ْ رَّشلا ةلزْنم مهُتَداَع ُلزْنَت ْلَه ةَي ِ حَان يِف ُةَدرطملا ُةَداعلا
َ
ِ َ ْ ُ
َ
ِ
ِ
“Kebiasaan atau adat yang berlaku terus menerus dalam
suatu daerah, Apakah adat kebiasaan mereka berada pada
kedudukan syarat? Hal ini ada beberapa keadaan.”
Kaidah ini menjelaskan bahwa apabila suatu perkara yang
biasa terjadi di masyarakat dan dilakukan secara terus
menerus itu sudah menjadi adat. Begitu juga kekuatan
yang ditimbulkan oleh adanya adat tersebut memiliki
kekuatan hukum yang sama jika dinyatakan suatu syarat
yang harus berlaku di antara mereka. Oleh karena itu adat
memiliki kekuatan yang mengikat dalam bertindak
sebagaimana mengikatnya suatu syarat yang dibuat.
Contoh aplikasi kaidah ini adalah sebagai berikut:
1) Menggunakan barang orang lain tanpa akad. Dalam
kebiasaan yang berlaku bahwa dalam penggunaannya
terdapat upah yang harus dibayarkan kepada pemilik
barang. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan di
masyarakat maka pengguna wajib membayarnya.
2) Kebiasaan membayar hutang dengan adanya
tambahan. Apabila adat kebiasaan yang berlaku
menempatkannya pada kedudukan syarat, sehingga
hukumnya menjadi haram? Dalam persoalan ini ada
dua pendapat. Menurut pendapat yang paling tepat
bahwa muamalah hukumnya tidak haram.
3) Berkaitan dengan barang gadaian. Apabila penerima
gadai menggunakan barang gadai yang hal ini sudah
umum di kalangan masyarakat, maka apakah
muamalah yang seperti itu berada pada kedudukan
syarat, sehingga dapat menyebabkan gadainya batal?
127