Page 142 - qowaid
P. 142
QAWA’ID FIQHIYYAH
tersebut sesuai tempo yang telah disepakati. Hal ini
karena apa yang menjadi kebiasaan dalam transaksi
tersebut dianggap sebuah kesepakatan di antara
mereka.
g. Kaidah
ْ
ةَداعلا ِهب ُتُبثَت امْيِف
ِ
َ
َ
“Sesuatu yang kuat ditetapkan oleh adat kebiasaan”
Kaidah ini bermula dari persoalan mengenai ketetapan
kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Dari sini dapat
diketahui dengan apa atau metode apa yang sesuai dalam
menetapkan bahwa sesuatu tersebut termasuk adat.
Contoh aplikasi kaidah ini adalah sebagai berikut:
1) Berkaitan dengan masalah ketetapan haid. Menurut
Abu Hanifah dalam masalah ketetapan haid sebanyak
dua kali. Sedangkan menurut Abu Yusuf Al-Hanafi
hanya cukup satu kali.
2) Memberikan percobaan kepada anak yang belum
baligh dalam kegiatan muamalah berupa penyerahan
barang kepada orang lain yang mana orang tua dari
anak tersebut seorang pedagang. Dalam percobaan
tersebut sekurang-kurangnya dilakukan sebanyak dua
kali sehingga menjadi adat kebiasaan dan
kecerdikaannya dikalahkan dengan kebiasaan
tersebut.
3) Masalah haid dan keluar mani bagi khunsa. Seorang
yang memiliki kelamin ganda (khunsa) dalam
membedakan mana yang lebih kuat antara
kelelakiannya atau kewanitaannya harus dibuktikan
berulang kali. Salah satu tujuannya adalah agar
dugaannya kuat serta terhindar dari anggapan bahwa
perkara tersebut terjadi secara kebetulan.
h. Kaidah
صَّنل اب نْييْعَتل اَك ِف ْ رُعلاب ُنْييْعَّتلا
ِ
ِ ِ ِ
ِ
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan
berdasarkan nash”.
131