Page 42 - EBOOK_Renasans Jogja
P. 42
dengan segala macam penderitaan. Basiyo tak mau hadir. Ia hanya Kau tentu bisa memahami
Kalau semua rakyat di negeri ini berdiam di kamar kamar. Meski kemarahan anak-anaknya, yang
seperti Pak Basiyo, pasti negara kita pintu sudah digedor-gedor. Dan itu kemudian memutuskan membiarkan
akan cepat maju. Sebab, semenderita membuat warga sebal. Baru dapat Basiyo sendirian. Begitu pun para
apapun, rakyat tak akan mengeluh Bintang Mahaputera saja sudah warga. Meraka tak lagi peduli,
sedih. Selama ini rakyat terlalu sibuk sombong, kekesalan seperti itu mulai apakah memang Basiyo benar-benar
memikirkan penderitaannya, hingga sering terdengar. Coba kalau nanti sudah tak bisa lagi tertawa atau
tak sempat memikirkan hal-hal yang bener-benar mati jadi pahlawan, bersedih, ataukah hanya berpura-
lebih penting yang bisa mempercepat pasti nggak mau kenal sama kita. pura tak lagi bisa tertawa atau
kemajuan bangsa. Silakan, Pak Dasar orang aneh. Pura-pura saja sedih. Terlalu banyak urusan hidup
Basiyo, jelaskan, kenapa Pak Basiyo nggak suka perhatian, nggak ingin yang mesti didahulukan dari pada
tak bisa tertawa dan sedih lagi.” dapat pujian. Dasar pelawak tolol. memperhatikan orang yang entah
Sok. apa keinginannya. Basiyo benar-
“Bagaimana saya bisa tertawa atau benar dibiarkan sendirian. Bila
bersedih, kalau saya sudah tak punya Kau pasti pernah merasa kesal, saat memang sudah tak bisa gembira atau
tawa dan sedih lagi. Sebab tawa dan bertemu orang yang ekspresinya bersedih, biarlah itu dinikmatinya
sedih saya pun sudah dikorupsi.”
datar nyaris tak memberi perhatian sendiran.
ketika kau bicara. Seakan kau
Kembali semua yang hadir tepuk tak penting baginya. Bahkan Mungkin ia memang telah benar-
tangan. Dan atas ide spontan
seandainya engkau adalah nabi yang benar tak lagi bisa bersedih atau
Presiden, Basiyo diberi penghargaan
datang menyampaikan kabar yang berbahagia, dan karenanya memilih
42 Bintang Mahaputera Utama, sepuluh paling genting pun, mengabarkan gantung diri. Orang-orang melihat
sekaligus. Agar seuai Nawacita, ujar
besok dunia akan kiamat, ia tetap tubuhnya tergantung di pohon
Presiden.
bergeming, tak tersenyum dan mangga di pekarangan belakang
menggeleng tak mengangguk, rumahnya. Pohon mangga yang dulu
seolah-olah apa yang kau sampaikan ketika Basiyo kecil bersembunyi
WARGA ingin mengadakan
hanyalah omong kosong tak menyaksikan bapaknya diseret
syukuran dan perayaan, karena
berguna baginya. Seperti itulah tentara.
bagaimana pun Basiyo telah
mengharumkan kampung mereka. yang kini dirasakan oleh orang-
orang kampung. Bayangkan, ketika Tak seorang pun peduli.
Bahkan Bupati dan Gubernur
diberi tahu isterinya meninggal,
juga menyatakan mau menghadiri
perayaan itu. Agar tak memalukan Basiyo tetap biasa-biasa saja. Tak ada Bertahun-tahun, sampai sekarang,
kesedihan. Tak ada kekagetan. mayat itu masih saja tergantung
pejabat-pejabat yang akan datang,
sunyi, kadang bergoyang-goyang
maka jalan menuju kampung yang
Basiyo muncul ketika istrinya akan tertiup angin. Orang-orang
bertahun-tahun rusak berlubang
langsung dipermulus. Kampung dimakamkan, berdiri memandangi sering melihat bayangan Basiyo,
berdandan. Semua diluapi tubuh istrinya yang sudah terbukus berjalan berputar-putar atau duduk
kebahagian. Hanya Basiyo yang kain kafan, wajahnya datar, bersandar, entah tertawa entah
tetap biasa-biasa saja. Datar. Dingin. sementara anak-anaknya menangis sedih, memandangi mayatnya yang
Tanpa ekspresi. meraung-raung. Bahkan kematian tergantung di pohon mangga itu.
tak mampu membuatnya terlihat
Acara syukuran dan perayaan yang berduka. Basiyo bergeming. Datar.
telah disiapkan itu batal, karena Dingin. Tanpa Ekspresi. Jakarta, 2017