Page 13 - PUNTHUKDARA PROJECT
P. 13
“Ayahanda aku disini.”
Prabu Brawijaya seketika terperanjat, dan langsung
menuju halaman depan. Dalam temaram malam yang
berselimut kabut dan hawa dingin yang menusuk tulang.
Semua prajurit tertidur pulas, seakan terkena ajian sirep.
Prabu Brawijaya mendekat api yang yang masih
menyala. Nampak putranya duduk bersila dan
menghaturkan sembah serta permintaan maaf.
“Maafkan diriku ayahanda, karena aku, ayahanda
harus pergi jauh meninggalkan Majapahit. Aku mohon
maaf ayahanda. Semua ini aku lakukan karena rasa cinta
dan hormatku kepada ayahanda.”
“Aku rela anakku, peluklah ayahandamu ini!”
Keduanya lalu berpelukan, pundak kedua-duanya
basah oleh air mata. Pundak putranya basah karena
tertumpah air mata Prabu Brawijaya, dan pundaknya
juga basah karena air mata putranya. Malam itu memang
terhias indahnya perjumpaan titisan darah yang berbeda
pada langkah dan keyakinan. Namun malam itu pohon
buah kepel menjadi saksi menyatunya keinginan antara
orang tua dan anak.
Prabu Brawijaya merasakan kebahagian, malam itu
merupakan sebuah kenangan yang sulit dilupakan.
Malam itu memang teras pendek namun sangat
membekas dalam relung-relung hati. Layaknya api
unggun didekatnya walau tinggal menyisakan bara,
namun dapat mengusir hawa dingin yang semakin
kencang turun dari lereng gunung.
12 Bukit Merpati di Lereng Lawu