Page 161 - Perspektif Agraria Kritis
P. 161
Perspektif Agraria Kritis
AKAR KEAGRARIAAN PADA SIKLUS KONFLIK ACEH
Isu agraria menjadi salah satu pemicu konflik di Aceh
tentu bukan baru pertama kali terjadi pada kasus Din Minimi.
Bukankah kelahiran Gerakan Aceh Merdeka (GAM) antara lain
dipicu oleh ketidakadilan Pemerintah Pusat dalam pembagian
hasil kekayaan alam di Aceh? Tidak heran jika pemberontakan
GAM muncul berbarengan dengan eksploitasi migas secara
besar-besaran di bumi Serambi Mekah pada pertengahan 1970-
an (kendati aspirasinya sudah berakar jauh sebelumnya, yakni
sejak masa pemberontakan Darul Islam di awak 1950-an).
Bahkan dimensia agraria di balik konflik di Aceh ini
dapat ditelusuri hingga periode akhir kolonial. Di kebanyakan
wilayah Indonesia lainnya, periode ini lebih dicirikan oleh
“revolusi nasional” yang digerakkan oleh pemuda perkotaan
dan lasykar rakyat. Namun apa yang terjadi di Aceh adalah
“revolusi sosial” dalam arti yang sebenarnya dengan partisipasi
luas kaum petani dan kepemimpinan para ulama yang efektif
(Reid 1979).
Revolusi sosial ini, di satu sisi, merefleksikan keresahan
agraria di aras lokal yang sudah merebak sejak era kolonial
dengan kaum uleebalang sebagai pihak antagonis di mata
rakyat. Di sisi lain, revolusi ini juga menunjukkan kebangkitan
kembali perlawanan kaum ulama terhadap kekuasaan kolonial
seiring dengan arus pasang nasionalisme Indonesia di berbagai
wilayah Nusantara. Seperti dijelaskan Reid (1979), dalam kasus
Aceh ini keresahan keagrariaan (agrarian unrest) dan aspirasi
keagamaan berpadu satu sama lain yang memicu penggulingan
elite lama seiring dengan perjuangan kemerdekaan nasional.
Dampak revolusi sosial ini pada struktur politik dan
sosial masyarakat Aceh sangatlah fundamental dan dirasakan
hinga jauh hari kemudian. Selain melempangkan jalan bagi
pergantian kepemimpinan politik dari rezim uleebalang ke
96