Page 163 - Perspektif Agraria Kritis
P. 163
Perspektif Agraria Kritis
Provinsi Aceh yang dengan sendirinya bakal mengakhiri
kepemimpinan rezim PUSA.
Kekalahan PUSA pada konfrontasi terakhir menjadi
faktor risiko yang turut mendasari siklus konflik berikutnya:
pemberontakan Darul Islam yang diproklamirkan pada 21
September 1953 oleh pemimpin PUSA dan Gubernur Militer
Aceh, Tgk. Daud Beureueh. Dengan demikian, selain dipicu
oleh ketegangan pusat-daerah, ada faktor pemicu lain dari
pemberontakan Darul Islam yang jarang sekali diketahui
orang. Sebenarnya, pemberontakan ini juga memiliki akar
pada ketegangan dan dikotomi di dalam masyarakat Aceh
sendiri, di mana aspek agraria cukup kental mewarnainya.
KEBIJAKAN AGRARIA UNTUK PERDAMAIAN ACEH
Isu agraria tidak hanya membayangi siklus konflik di
Aceh, namun juga menjadi elemen kunci dalam proses
penyelesaian konflik dan pemeliharaan perdamaian. Uniknya,
kebijakan yang diambil dalam rangka dua tujuan terakhir ini
selalu sama, yaitu distribusi lahan pertanian.
Kebijakan agraria semacam ini pertama kali dijalankan
oleh Kolonel Husen Yusuf, Komandan Divisi X/TNI, untuk
mengantisipasi program rasionalisasi tentara dari Kabinet
Hatta pada 1948. Lahan pertanian baru dibuka di wilayah Aceh
Tengah untuk para anggota militer yang di-demobilisasi. Berkat
alokasi lahan pertanian ini, tidak ada gejolak yang berarti di
Aceh seperti dijumpai di banyak tempat lain.
Kebijakan kompensasi lahan pertanian semacam ini
kembali diterapkan untuk menyudahi pemberontakan Darul
Islam. Selain penyelesaian politik (berupa pembentukan
kembali Provinsi Aceh pada 1957, dan penetapannya sebagai
“Daerah Istimewa Aceh” pada 1959), kebijakan distribusi tanah
juga diterapkan guna menampung pasukan Tentara Islam
98