Page 162 - Perspektif Agraria Kritis
P. 162
Bagian IV. Konflik & Damai Aceh dari Perspektif Agraria
PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada awal 1946,
sosia in mela perubahan yang drastis pada
struktur agraria lokal. Secara massif terjadi aksi-aksi massa
untuk pengambilalihan harta benda uleebalang, bahkan juga
penculikan dan pembunuhan sejumlah tokoh uleebalang dan
keluarganya. Sebagian besar harta kaum uleebalang itu jatuh ke
tangan para aktivis dan pengikut PUSA serta para petani miskin.
Dampak keagrariaan dari konflik ini menimbulkan
konsekuensi hingga jauh ke depan. Meskipun revolusi 1946
berhasil menggulingkan kekuasaan kaum bangsawan, ia tidak
melenyapkan—sebaliknya, justru semakin mempertajam—
antagonisme internal yang sudah lama bercokol di tengah-
tengah masyarakat Aceh. Sementara itu, absennya upaya
pengungkapan sejarah, rekonsiliasi, dan restitusi properti
secara terbuka akibat gegap gempita revolusi membuat
antagonisme tadi menjelma sebagai “api dalam sekam”. Hal ini
akhirnya meledak dalam aksi perlawanan Sayyid Ali Assegaf
terhadap rezim PUSA pada Maret-November 1948 (sebuah
preseden historis bagi perlawanan Din Minimi).
Kendati aksi massa ini dapat dipatahkan, dan abolisi
umum diberikan oleh Pemerintah Pusat pada 21 Desember
1949 kepada kedua belah pihak yang bertikai, namun tidak ada
kebijakan spesifik yang dijalankan Pemerintah untuk
mengatasi baik “akar keagrariaan” dari antagonisme sosial
yang ada maupun “dampak keagrariaan” dari revolusi sosial.
Akibatnya, dikotomi internal di tubuh masyarakat Aceh
ini tetap membara dan segera mendapatkan ajang baru
konfrontasinya pada kontroversi status otonomi Aceh selama
1949-1950. Rezim PUSA dengan ngotot mempertahankan
status provinsi bagi Aceh dan kepemimpinan mereka atas
provinsi ini. Sementara para penentangnya, termasuk kaum
uleebalang yang sakit hati—kini semua berhimpun dalam
Gerakan Badan Keinsyafan Rakyat—mendukung pembubaran
97