Page 165 - Perspektif Agraria Kritis
P. 165
Perspektif Agraria Kritis
Pertama, meski aspek agraria sangat terkait dengan
dinamika konflik di Aceh, baik sebagai salah satu akar
pemicunya maupun dampak yang ditimbulkannya, namun
tidak ada kebijakan agraria yang komprehensif dan betul-betul
didesain untuk menjawab dua aspek dari isu agraria tersebut.
Akibatnya, rantai keresahan agraria tidak dapat diputuskan
sehingga ia terus menjadi “faktor risiko” bagi konflik
berikutnya.
Kedua, kebijakan agraria yang diterapkan untuk
penciptaan dan pemeliharaan perdamaian di Aceh ternyata
lebih diwarnai oleh “pendekatan kompensasi”. Tegasnya,
kebijakan ini lebih ditujukan untuk menenangkan pihak-
pihak yang ditakutkan akan memicu atau melanggengkan
konflik. Pendekatan kompensasi semacam ini tidak bakal
menjawab masalah struktural keagrariaan yang mendasari
konflik itu sendiri.
Ketiga, kendati MoU Helsinki menghasilkan kebijakan
agraria yang cukup komprehensif, namun dinamika dan
komplikasi politik di era pasca-konflik menciptakan banyak
distorsi atas kebijakan ini. Dalam kasus program reintegrasi,
penyediaan lahan pertanian dibatalkan oleh pimpinan GAM
sendiri dan digantikan uang tunai. Pertimbangan keamanan
pihak GAM, antara lain untuk menyembunyikan jumlah riil
kombatannya, membuat distorsi ini dapat terjadi.
Keempat, pembangunan kebun sawit oleh Gubernur
Irwandi untuk menutupi kegagalan program reintegrasi justru
menimbulkan banyak tumpang tindih dan sengketa lahan. Hal
ini terjadi karena penetapan lokasinya mengabaikan dinamika
perubahan agraria yang ditimbulkan oleh konflik (pengungsian
dan pembunuhan warga sipil, penelantaran kebun, okupasi
tanah oleh pihak lain, dan sebagainya). Pengabaian dampak
keagrariaan dari konflik ini telah membuat kebijakan agraria
pasca-konflik justru menjadi pemicu langsung bagi terjadinya
100