Page 169 - Perspektif Agraria Kritis
P. 169
Perspektif Agraria Kritis
AWALNYA KEKECEWAAN EKONOMI
Tindakan kelompok Din Minimi mengangkat senjata
semula didorong oleh kekecewaan ekonomi dan rasa frustasi
atas kegagalan program reintegrasi dalam menyediakan rumah,
lahan pertanian dan pekerjaan kepada mantan kombatan dan
korban konflik. Padahal, ini semua termasuk bagian dari MoU
Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Di sisi lain, mereka disuguhi dengan kemewahan hidup
para pemimpin dan rekan mereka yang memiliki akses pada,
atau bahkan memegang langsung, kekuasaan eksekutif atau
legislatif di Aceh. Karena itu, pada saat mendeklarasikan
gerakannya pada 9 Oktober 2014, Din Minimi menegaskan
bahwa pihaknya mengangkat senjata bukan untuk memusuhi
aparat keamanan, melainkan untuk “melawan pemerintah
[Aceh] yang hanya memperkaya diri mereka sendiri tanpa
memperhatikan kehidupan rakyatnya.”
Gubernur Zaini bereaksi keras terhadap aksi kelompok
Din Minimi ini. Alih-alih membuka pintu dialog, pemenang
pilkada 2012 yang penuh kekerasan ini meminta aparat
keamanan bertindak tegas. Hal ini diaminkan oleh Polda Aceh
yang segera menggelar operasi represif. Di tengah kejaran
pihak Polri ini, pada 23 Maret 2015 kelompok Din Minimi
menculik dan membunuh dua orang staf intelijen TNI. Anehnya,
insiden ini justru membuat TNI gencar melakukan persuasi.
Danrem Liliwangsa mengunjungi rumah orang tua Din
Minimi, sementara Pangdam Iskandar Muda menelpon Din
Minimi dan membujuknya untuk turun gunung. Aroma
persaingan antara TNI dan Polri tidak bisa ditutupi lagi.
Pada tahap ini, persoalan telah kian pelik. Lembaga
kajian IPAC pimpinan Sidney Jones melaporkan, pada akhir
Desember 2014 Din Minimi dihubungi oleh “Ayah Oh”, salah
seorang tokoh perantauan Aceh di Norwegia yang sekaligus
104