Page 172 - Perspektif Agraria Kritis
P. 172
Bagian IV. Konflik & Damai Aceh dari Perspektif Agraria
kebijakan untuk mengatasi akar ketegangan sosial di Aceh,
antagonisme di antara kedua kubu tetap membara.
Hal ini segera menemukan ajang pertikaian baru, yaitu
pada tarik menarik otonomi Aceh selama masa transisi
ketatanegaraan dari RIS ke RI (1949-1950). Dalam kontroversi ini,
pihak PUSA ngotot mempertahankan provinsi Aceh dan
kepemimpinan politik mereka, sementara para penentang
PUSA mendukung pembubarannya yang akan berarti pula
akhir kepemimpinan PUSA.
Ajang pertikaian politik baru ini pada gilirannya
melatari siklus kekerasan berikutnya, yaitu Pemberontakan
Darul Islam yang dipimpin langsung oleh Tgk. Daud Beureueh.
Pemberontakan yang diproklamirkan pada 21 September 1953
ini, dengan demikian, turut dilatari oleh ketegangan internal
yang telah lama berkembang di antara masyarakat Aceh
sendiri, di samping faktor ketegangan pusat-daerah (Ibrahimy
2001).
PELAJARAN PENTING
Tiga pelajaran yang berharga dapat dipetik dari dua
kasus perlawanan terhadap pemerintah Aceh ini.
Pertama, belajar dari siklus konflik di Aceh pasca
kolonial—revolusi sosial 1946, perlawanan Sayyid Ali 1948,
pemberontakan Darul Islam 1953, dan pemberontakan GAM
1976—faktor ketegangan internal di tubuh masyarakat Aceh
ternyata memainkan peranan yang penting dalam memicu
konflik baru. Demikian pula, kasus Din Minimi ini—dan
sebelumnya, kasus bentrokan sesama eks kombatan GAM
dalam pilkada 2006 dan 2012 serta dalam pileg 2014—juga
memperlihatkan kegentingan dari ketegangan internal di
Aceh pasca MoU Helsinki 2005. Akar dan dinamika ketegangan
lokal ini haruslah dapat dikenali dan ditangani dengan baik
107