Page 171 - Perspektif Agraria Kritis
P. 171
Perspektif Agraria Kritis
para tokoh ulama modernis dan pemuda Pesindo pada tampuk
kepemimpinan di Aceh, baik di lingkungan eksekutif, legislatif,
maupun militer. Dengan demikian, lahirlah rezim PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di wilayah Serambi Mekah
ini. Namun belum lama memegang tampuk pemerintahan,
elite penguasa baru ini segera diterpa badai kecaman dan
perlawanan.
Dalam konteks Aceh, kejatuhan elite lama ternyata
segera disusul oleh deligitimasi elite yang baru. Hal ini terjadi
dalam tempo yang cukup pendek dan berlangsung dengan
penuh kekerasan. Begitulah, ketegangan internal dalam
struktur sosial masyarakat Aceh yang memuncak pada revolusi
sosial 1946 telah melahirkan ekses-ekses negatif yang terus
berkepanjangan, seperti penahanan, penculikan dan
pembunuhan para uleebalang di luar proses hukum (bahkan
berlangsung hingga jauh seusai revolusi sosial), perampasan
harta benda uleebalang secara semena-mena, dan proses
penyelesaian harta benda rampasan ini yang bersifat partisan.
Pada saat yang sama, gairah revolusi telah memupuskan
peluang untuk pengungkapan sejarah dan rekonsiliasi sosial
secara terbuka.
Situasi inilah yang dua tahun kemudian memicu
gerakan Sayyid Ali yang menggoyang kekuasaan rezim PUSA.
Gerakan ini sempat menggegerkan warga Kutaraja melalui
aksi massa yang cukup banyak, meskipun akhirnya berhasil
dipatahkan oleh Tgk. Daud Beureueh yang menjabat Gubernur
Militer. Para pemimpin gerakan ini ditangkap dan dipenjarakan
hanya sehari sebelum aksi massa puncak yang direncanakan
untuk dilaksanakan pada 4 November 1948 di Kutaraja.
Pada 21 Desember 1949, abolisi umum diberikan oleh
Pemerintah Pusat, baik kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam revolusi sosial 1946 maupun para uleebalang dan oposan
rezim PUSA yang selama ini ditawan. Namun, tanpa ada
106