Page 173 - Perspektif Agraria Kritis
P. 173
Perspektif Agraria Kritis
demi menghindarkan potensi kekerasan baru yang lebih besar
di masa depan.
Kedua, pergolakan pasca-konflik di Aceh pada periode
yang berbeda-beda juga menunjukkan bagaimana kekerasan
politik, korupsi dan dominasi ekonomi merupakan hal sensitif
yang di sekitarnya sentimen ketidakpuasan dapat dikobarkan.
Gerakan Sayyid Ali menentang rezim PUSA dan gerakan Din
Minimi melawan rezim Zaini-Muzakir berada di pusaran
sentimen ketidakpuasan ini. Hal ini membuktikan bahwa di
Aceh banyak orang mau mengambil risiko yang paling berat
sekalipun untuk menjadikan rasa ketidakadilan ini sebagai
basis mobilisasi perlawanan.
Ketiga, pemberian abolisi umum oleh Pemerintah
Pusat pada 1949 membuktikan bahwa siklus kekerasan tidak
berhasil diputus dengan solusi politik semata karena akar
masalahnya tidak dijawab. Sama halnya, dalam kasus Din
Minimi, pemberian amnesti semata juga tidak menjawab akar
permasalahan yang justru diangkat oleh kelompok ini sebagai
dasar perlawanan mereka. Bukankah yang mereka gugat itu
pada dasarnya adalah ketidakberesan (juga korupsi) dalam
program reintegrasi dan distribusi tanah kepada eks kombatan
dan korban konflik? Bukankan komisi penyelesaian klaim
harta benda (salah satu mandat MoU Helsinki) tidak kunjung
terbentuk hingga sekarang? Bukankah kekerasan politik yang
berlangsung selama pilkada 2012 dan pileg 2014 tidak pernah
diungkap (hal mana mendasari tuntutan kelompok ini atas
kehadiran tim pemantau independen selama pelaksanaan
pilkada 2017)?
Tiga pelajaran ini menunjukkan bahwa kasus Din
Minimi menuntut solusi yang jauh lebih mendasar ketimbang
sekedar amnesti. Dan solusi itu, untuk porsi cukup besar,
terletak pada penanganan akar-akar dan sejarah panjang
antagonisme internal di dalam masyarakat Aceh sendiri.
108