Page 34 - Perspektif Agraria Kritis
P. 34
Teori, Kebijakan, dan Kajian
Bukan sebuah perombakan struktur agraria yang dilakukan
secara sistematis. Karena itu, program yang disebut reforma
agraria oleh pemerintahan Jokowi ini memang terbilang
“unik”. Ketimbang berpedoman pada UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UUPA,
pelaksanaannya justru menggunakan UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan sebagai sandaran utama. Ini dikarenakan
63% wilayah darat Indonesia diklaim pemerintah sebagai
kawasan hutan. Padahal klaim tersebut sebagian besar belum
tentu legal secara hukum dan legitimate secara sosial. Apalagi
proses pengukuhan kawasan belum dilakukan atau dilakukan
tanpa partisipasi masyarakat. Dengan menggunakan dasar UU
Kehutanan ini, maka dari 9 juta hektare rencana distribusi
tanah, seluas 4,1 juta hektare di antaranya berada di bawah
yurisdiksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK).
Dengan menggunakan UU Kehutanan, maka jalur
redistribusi tanah dilakukan melalui proses pelepasan kawasan
hutan terlebih dahulu. Istilah ini juga mengkhawatirkan,
sebab memosisikan negara sebagai pemilik tanah. Sesuatu
yang tidak dikenal dalam kaidah hukum agraria kita. Proses
pelepasan kawasan hutan ini ditentukan oleh status dari
kawasan hutan yang bisa dilepaskan dan luasan kawasan
hutan pada sebuah daerah. Selama lebih dari satu dekade ke
belakang, yakni selama pemerintahan sebelumnya, lebih dari
7,5 juta hektare kawasan hutan yang telah dilepaskan.
Ironisnya, 90% di antaranya diperuntukkan bagi perusahaan
perkebunan.
Akibat lain dari penggunaan UU Kehutanan ini, Pulau
Jawa, Pulau Bali dan Provinsi Lampung ditutup dari peluang
melakukan reform melalui agenda reforma agraria. Wilayah-
wilayah tersebut diklaim sebagai provinsi dengan tutupan
hutan kurang dari 30% sehingga tidak memungkinkan proses
pelepasan kawasan hutan. Berbagai skema Perhutanan sosial
xxxiii