Page 35 - Perspektif Agraria Kritis
P. 35
Perspektif Agraria Kritis
lantas dijadikan tawaran obat bagi krisis agraria. Demikian
pula dengan pilihan transmigrasi.
Selain redistribusi tanah seluas 9 juta hektare di atas,
pemerintah juga mendorong pelaksanaan Perhutanan Sosial
(PS) bagi rakyat seluas 12.7 juta hektare. Saat ini program PS
juga diklaim sebagai reforma agraria. Program PS sebenarnya
adalah mandat lama dari UU Kehutanan, yang sangat minim
dijalankan. Sejak dicanangkan, kelembagaan dan kinerja PS
dalam kementerian ini tidak berkembang. Sampai Agustus
2017, meski telah digenjot dari berbagai sisi, pelaksanaan PS ini
masih berkisar pada angka 833 ribu hektare dengan
keberhasilan menyejahterakan yang rendah.
Apakah PS merupakan reforma agraria? Menurut hemat
kami, apabila PS adalah jawaban pemerintah karena tidak mau
mengesahkan kepemilikan rakyat dan sebaliknya justru untuk
mengukuhkan “kepemilikan pemerintah” atas tanah (atau
klaim hutan), maka ia bukanlah reforma agraria. Lain halnya
jika lokasi PS itu adalah “murni” tanah di kawasan hutan, yang
memang tidak ada tumpang tindih sama sekali dengan
wilayah masyarakat (pemukiman, kampung, desa, sawah,
ladang, kebun rakyat), lalu negara menawarkan PS sebagai
akses kelola, maka bisa jadi hal ini memenuhi syarat untuk
reforma agraria. Yakni, reforma agraria dalam pengertian
“perluasan wilayah kelola masyarakat”.
Akhir-akhir ini sering digaungkan bahwa PS adalah
bentuk soft reform dari reforma agraria (yang dianggap hard
atau drastic reform—sebuah perombakan). Menyikapi hal ini,
perlu ditekankan bahwa kasus Jawa dan Lampung—dengan
ketimpangannya yang sangat tajam, dan konflik agrarianya
yang akut—tidaklah cukup diberi jawaban berupa sekedar soft
reform tersebut. Mengeksklusi Jawa dan Lampung dari
pelaksanaan reforma agraria adalah bentuk pengingkaran
pemerintah terhadap hak konstitusional warga negara atas
xxxiv