Page 30 - Buku Panduan Daurah Romadhon 1442 H - MIKH
P. 30
Buku Panduan Daurah Ramadhan
02. Niat i’tikaf
Itikaf harus disertai niat. Niat itulah yang membedakan seseorang
beri'tikaf atau tidak, meskipun sama-sama berada di masjid.
Para ulama sepakat bahwa tempat niat adalah di dalam hati. Sehingga
tidak disyaratkan melafadzkan niat.
Namun Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan, jumhur ulama selain
mazhab Maliki berpendapat melafadzkan niat hukumnya sunnah dalam
rangka membantu hati menghadirkan niat. Sedangkan menurut mazhab
Maliki, yang terbaik adalah tidak melafadzkan niat karena tidak ada
contohnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Bagi yang melafadzkan niat, berikut ini adalah lafadz niat itikaf:
َ
ﻰﻟﺎﻌﺗ دﺟﺳﻣﻟا اذھ ﻲﻓ فﺎﻛﺗﻋﻻا تﯾوَﻧ
َ ِ ِ ِ ْ
ُ ْ
ّ
َ ْ ِ ِ
ِ
ِ َ
َ
َ
َ
Artinya : “Saya berniat i’tikaf di masjid ini karena Allah SWT.”
03. Keutamaan i’tikaf
A. Setiap saat mendapat pahala
Sebab diamnya di masjid dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Saat terjaga, ia mengisi waktunya dengan shalat, tilawah, dzikir, berdoa,
bermunajat, tadabbur, tafakkur atau mengkaji ilmu. Bahkan dalam kondisi
tidur pun, orang yang beritikaf mendapatkan pahala yang besarnya tidak
bisa didapatkan oleh orang yang tidur di rumahnya. Sebab tidurnya itu
termasuk rangkaian i'tikaf.
B. Sunnah Rasul
Itikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan adalah sunnah Rasulullah. Beliau
tidak pernah meninggalkannya. Bahkan di Ramadhan terakhir sebelum wafat,
Rasulullah beri'tikaf selama 20 hari. Demikian
pula istri beliau dan para sahabat Nabi. Mereka
beritikaf 10 hari terakhir Ramadhan ini.
Bahkan sepeninggal Rasulullah, istri-istri beliau
juga beritikaf 10 hari terakhir Ramadhan.
“Berbuatlah baik sekecil apapun, karena bisa jadi ia dapat menolongmu kelak di akhirat” 29