Page 350 - My FlipBook
P. 350
Bagian Kempat
Indonesia, ternyata da, tentu saja berdasar dalih-dalih versi kaum nasionalis-
sekuler. Patut dicatat, pada masa-masa awal Departemen Agama ini didirikan,
belum ada gejala kalangan “kepercayaan” ingin disetarakan dengan “”agama”.
Dalam rumusan UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 dikatakan: “Negara
menjamin /kursi dari penyalin/ kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.” Dalam kata “menjamin” ini dalam praktiknya
dijabarkan dalam wujud melindungi hak pilih keyakinan penduduk (warga
negara), melindungi keberadaan agama yang diyakini/dipeluk penduduk
(warga negara), dan melindungi keamanan dalam peribadatan penduduk
(warga negara), serta “melayani” agar nyaman dalam menjalankan hidup
keberagamannya.
Dalam praktiknya, berdasarkan Tap-MPR 1978, karena Kepercayaan
TME ditegaskan “tidak merupakan agama”, maka wujud pelayanan negara
terhadap Kepercayaan TME tidak di bawah Depertemen Agama Republik
Indonesia, melainkan di bawah departemen lain yang dianggap relevan,
misalnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan). Sebab, Kepercayaan TME dianggap sebagai “kebudayaan
spiritual” dalam perbahasaan admisitrasi negaranya.
Mengingat isi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2008 tentang Administrasi Kependudukan dalam pasal 61, dan apalagi dalam
Keputusan Mahkaman Konstitusi yang membolehkan Kepercayaan TME
dituliskan dalam kolom Kartu Tanda Penduduk, mala pelayaan terhadap
Kepercayaan TME tetap tak berubah. Artinya, Kepercayaan TME tidak
disamakan dengan “agama”, walaupun tetap dilayani oleh negara berdasar
undang-undang yang relevan untuk itu. Tuntutan mereka, disamping identitas
resmi dalam kolom KTP, juga sistem pernikahan, sistem upacara kematian,
dan sistem sumpah/janji dalam pelantikan jabatan.
Dalam konteks masa depan, begaimanapun kisi-kisi yang jelas
barangkali sangat diperlukan untuk menyaring mana-mana yang layak
diterima sebagai “Kepercayaan TME” dan mana-mana pula yang tidak layak
diterima. Ini sangat penting, agar di kemudian hari tidak terjadi pertumbuhan
yang tidak terkendali dan akan membuat repot semua pihak, termasuk
kalangan “agama”. Hal ini mengingat dalam berita dalam surat kabar, tabloid,
majalah, teve, dan sebagainya kadang-kadang ada berita munculnya tokoh
338