Page 346 - My FlipBook
P. 346
Bagian Kempat
dan pengap-politik seperti itulah maka masyarakat luas haus ketenangan dan
kedamaian. Karena itu wajar kalau kebatinan menjadi popular dan lau dalam
masyarakat.
Sejarah masih belanjut, yaiut pasca- 1970 dan seterusnya. Pada tahun
1973 dilangsungkan siding Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
hasil Pemilihan Umum I pada Zaman Orde Baru. Dalam SU-MPR 1973
tesebut perjuangan legalisasi lebih ditekankan dengan mengusung sebutan
“kepercayaan” dan dalam SU-MPR 1973 tersebut kalangan kebatinan berhasil
membakukan namanya menjadi “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa”. Selanjutnya, dalam SU-MPR tahun 1978 kalangan Kepercayaan TME
meperoleh penegasan jati dirinya dengan rumusan sebagai berikut (Damami,
2011: 208-209):
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama.
Pembinaan /kursif dari penyalin/ terhadap kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa dilakukan:
Agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru /kursif dari penyalin/.
Untuk mengefektifkan pengambilan langah yang perlu agar pelaksanaan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa benar-benar sesuia dengan
dasar Ketuahan Yang Mahas Esa /kursif dari penyalin/ menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
B. Macam Jenis Kepercayaan TME
Kalau dilihat dari perspektif antropologi agama, maka jenis “kepercyaan
TME” dapat dipecah menajdi 2 (dua) jenis. Pertama, kepercayaan TME yang
basisnya kearifan local (local genius) yang sudah ada berates-ratus tahun
lamanya. Barangkali yang masuk kategori ini misalnya religi Permalin di
kalangan Batak, religi Kaharingan di Kalimantan, religi Toani Tolotang di
Sulawesi, religi Sunda Wiwitan di Jawa Barat, dan sebagainya. Diperkirakan
kearifan local (local genius) seperti ini sudah ada sebelum datang agama-
agama besar dunia. Itu puola sebabnya ajarannya mungkin relative sangat
terbatas dipengaruhi atau dicampuri oleh agama-agama bear yang masuk
kemudian.
334