Page 28 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 31 DESEMBER 2021
P. 28
"Berserikat itu juga enggak hanya memudahkan dapat job link. Tapi juga dapat perlindungan
hukum," kata Hambali.
Rentan eksploitasi Pekerja independen seperti Rafika, Lutfi, dan Hambali masuk dalam sistem
ekonomi gig. Menurut pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI)
Telisa Aulia Falianty dalam "Fenomena Gig Economy, Informalitas dan Prekariat di Pasar Kerja,
dan Pancemic Economy ", ekonomi gig adalah sistem kerja yang umumnya lembaga atau
perusahaan lebih memilih merekrut pekerja independen atau kontrak jangka pendek.
Yeremias T. Keban, Ari Hernawan, dan Arif Novianto dalam buku Menyoal Kerja Layak dan Adil
dalam Ekonomi Gig di Indonesia (2021) menyebut, pekerja gig tumbuh di tengah perkembangan
teknologi digital yang pesat.
Tren ini berkembang di negara-negara maju. Di Inggris diperkirakan ada 1,1 juta orang bekerja
dalam ekonomi gig. Sedangkan di Amerika Serikat, sekitar 8% warganya, dan naik menjadi 16%
warga berusia 18-29 tahun merupakan pekerja gig.
"Di Indonesia sendiri, ada 4,55% dari total tenaga kerja produktif, atau sekitar 5,89 juta orang
pada 2019 bekerja sebagai pekerja gig," tulis Yeremias, Ari, dan Arif.
Jumlah itu diperkirakan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Yeremias, Ari, dan Arif
mengemukakan, di tengah perkembangan tersebut, beberapa media, akademisi, dan politisi
menyebut ekonomi gig sebagai bentuk ekonomi masa depan.
Menurut Koordinator Divisi Advokasi Sindikasi, Bimo Aria Fundrika, fenomena pekerja gig
menjamur seiring tekanan ekonomi karena gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) imbas
pandemi. Selain itu, banyak karyawan beralih menjadi pekerja lepas karena ingin lebih bebas
mengatur waktu dan upah lebih besar.
Akan tetapi, Bimo menyebut, di balik nilai positif itu ada kerentanan kerja berlebihan yang sering
kali menghantui pekerja independen lantaran fleksibilitas kerja.
"Mereka yang kerja fleksibel, dituntut bisa kerja di mana saja dan kapan saja. Banyak dari mereka
diminta revisi (pekerjaan) di tengah malam," ucap Bimo, Selasa (28/12).
Bimo menjelaskan, masalah muncul diduga karena banyak pekerja lepas yang tak menggunakan
kontrak kerja, sebelum menerima tawaran dari klien. Bimo mengatakan, pada 2019 Sindikasi
pernah melakukan riset terkait hal itu. Hasilnya, 59% pekerja lepas tak punya kontrak kerja.
"Konsekuensinya, mereka tidak punya jam kerja yang jelas," kata dia.
"Akhirnya jam kerja mereka lebih panjang, bahkan tanpa biaya lembur." Padahal, dalam Pasal
77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan,
pengusaha wajib melaksanakan ketentuan jam kerja dalam dua sistem. Pertama, tujuh jam
dalam sehari atau 40 jam dalam seminggu untuk enam hari kerja dalam seminggu. Kedua,
delapan jam dalam sehari atau 40 jam dalam seminggu untuk lima hari kerja dalam seminggu.
Pekerja independen yang masih menganggap remeh kontrak kerja, kata dia, juga mengakibatkan
klien tak disiplin membayar honor sesuai waktu yang ditentukan.
"Bahkan banyak juga yang mengaku ke kami, mereka tidak dibayar setiap pekerjaannya selesai,"
ucap Bimo.
Profesi pekerja lepas yang tak bernaung di bawah satu perusahaan, menurut Bimo, masih luput
dari jaminan sosial dari pemerintah. "Mereka tidak punya BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS
Kesehatan," kata Bimo.
27