Page 27 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 31 DESEMBER 2021
P. 27
Di samping penghasilan yang menggiurkan, Lutfi mengatakan, bekerja sebagai ilustrator
independen lebih bebas membangun jaringan. Kini ia menerima pesanan ilustrasi dari klien di
luar negeri.
Sementara itu, Hambali Hamdan memutuskan menjadi pekerja lepas bidang pengembang
perangkat lunak atau software developer usai berhenti sebagai pegawai swasta pada 2019.
"Saya rasa di kantor kurang baik untuk mental saya. Saya pikir freelance jauh lebih bebas," ucap
Hambali, Selasa (28/12).
Ia merasa lebih leluasa mengatur waktu, dengan penghasilan lebih besar jika bekerja kantoran.
Lelaki berusia 33 tahun itu mengaku bisa meraup upah Rp5 juta hingga Rp30 juta dalam sekali
mengerjakan proyek pembuatan situs web dan aplikasi, dengan durasi pengerjaan selama tiga
bulan.
"Waktu saya kerja di perusahaan digital, gaji Rp5,5 juta per bulan," ucapnya.
Meski begitu, menjadi pekerja independen tak selamanya manis. Rafika menuturkan, pekerja
lepas seperti dirinya masih rentan dari perlindungan jaminan sosial, sehingga luput dari sentuhan
pemerintah ketika situasi darurat.
"Saat pandemi parah-parahnya bulan Juni lalu, saya benar-benar tidak mendapat job, sama
sekali tidak punya penghasilan," katanya.
Perempuan yang tengah menempuh studi magister komunikasi di Universitas Mercu Buana,
Jakarta ini pun mengatakan, sering mengalami penundaan pembayaran honor. Padahal, konten
yang dipesan sudah dipakai.
"Karena enggak ada hitam di atas putih dan enggak ada perjanjian tertulis," ucap dia.
Rafika berpandangan, pekerja lepas belum begitu menjadi perhatian serius pemerintah dalam
segi perlindungan, sehingga rentan mengalami ketidakadilan.
"Harus ada standar kerja karena banyak klien yang melakukan tindakan enggak adil," ucap
Rafika.
Senasib dengan Rafika, Lutfi pun pernah mengalami penundaan pembayaran honor. Bahkan,
pembatalan proyek sepihak.
"Terutama klien yang berasal dari Hong Kong dan Singapura," katanya.
Untuk mencegah hal itu, ia mengakalinya dengan cara membuat perjanjian uang muka sebesar
50% dari total honor. Pemuda berusia 22 tahun itu juga mengaku tak memiliki asuransi
kesehatan lantaran penghasilannya belum cukup membeli produk asuransi.
"Beda dengan karyawan kantor yang ditanggung perusahaan," ujarnya.
Berbeda dengan Rafika dan Lutfi, Hambali mengaku belum pernah mengalami telat pembayaran
atau pembatalan sepihak. Sebab, ia menggunakan standar kontrak dalam setiap proyek.
"Misalnya untuk revisi hanya dibatasi maksimal dua kali," tutur Hambali.
Pemahaman pentingnya kesepakatan kontrak dalam profesi pekerja lepas didapat Hambali
setelah bergabung dengan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi
(Sindikasi) pada 2017. Di Sindikasi, ia menjadi anggota divisi advokasi.
26