Page 309 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 OKTOBER 2020
P. 309
Menurut Timboel, rekomposisi iuran BPJamsostek untuk JKP sangat berisiko. Pasalnya, alokasi
JKK dan JKm dihitung secara aktuaria, yaitu sebanyak 0,24% - 1,74% untuk JKK dan 0,3% untuk
JK.
“Kalau direkomposisi untuk dialihkan ke JKP nanti akan sulit lagi. Setelah direkomposisi pun
artinya akan ada masalah di klaim untuk JKm dan JKK ke depannya karena dananya relatif
menjadi tidak terlampau besar,” sebutnya.
Ketiga, pendanaan lewat dana operasional BPJS Ketenagakerjaan. Timboel berpandangan skema
ketiga ini sangat rawan lantaran dananya akan diambil dari iuran pekerja lainnya. Artinya, tidak
akan ada bedanya dengan mekanisme ‘pekerja menyubsidi pekerja’.
“Jadi, sangat bohong jika pemerintah kasih iuran secara berkala untuk mendanai JKP
sepenuhnya. Paling jelas hanya kasih modal awal saja yang disetor untuk menjalankan program.
Kalau sudah begini, artinya sama saja pekerja membayar sendiri untuk JKP mereka,” tegasnya.
Atas dasar itulah, Timboel memperhitungkan uang tunai yang bakal diperoleh korban PHK dari
program JKP tidak akan sebanyak dari skema pesangon sebagaimana diatur dalam beleid
ketenagakerjaan sebelumnya.
“Dengan kata lain, saya memprediksi, insentif dari JKP ini tidak akan sanggup menunjang daya
beli masyarakat untuk kebutuhan hidup selama 1 bulan. Sebab, nominal JKP ini tidak akan bisa
besar.”
Dalam catatan lain, Timboel berpendapat skema JKP tumpang tindih dengan konsep Kartu
Prakerja yang menawarkan manfaat serupa. Untuk itu, dia berharap JKP dapat diintegrasikan
dengan Kartu Prakerja saja.
PEMANIS BIBIR
Kekhawatiran serupa dirasakan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said
Iqbal. Menurutnya, JKP hanyalah program ‘pemanis bibir’ agar buruh bisa menerima UU Cipta
Kerja dengan lapang dada.
“Pertanyaannya, iuran siapa yang bayar? Kalau dibilang pemerintah, berarti akan diambil dari
APBN. Kalau diambil dari APBN, program JKP ini tidak akan bisa jalan. Jadinya, program ini
terkesan basa-basi,” ujarnya.
Sebaliknya, kata Saiq, jika pendanaan JKP bersumber dari iuran BPJS Ketenagakerjaan, artinya
sama saja dengan dana pesangon PHK ditumpukan kepada buruh.
“Karyawan kontrak dan alih daya sudah diupah murah, dikontrak seenaknya, dan sekarang harus
disuruh membayar lagi iuran untuk pesangon mereka. Tentu ini merugikan pekerja sekali, tidak
ada keuntungan buat pekerja.”
Dia pun sependapat skema JKP rentan mencederai daya bertahan hidup para pekerja yang
kehilangan mata pencarian. Tak hanya itu, program ini berisiko membangkrutkan BPJS
Ketenagakerjaan.
Untuk itu, dia mendesak agar skema pesangon PHK dikembalikan sesuai UU Ketenagakerjaan
dengan besaran maksimal 32 kali upah. “Atau, kalau mau bikin pesangon untuk diserahkan ke
pihak ketiga, bisa membuat asuransi sosial cadangan pesangon. Itu lebih jelas.”
Saat dimintai konfirmasi, Deputi Direktur Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BPJS
Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja mengungkapkan detail mekanisme penyaluran JKP
belum tuntas dibahas, termasuk soal nominal yang akan didapat penerima manfaat dan jangka
waktunya.
308