Page 64 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 18 NOVEMBER 2021
P. 64
RENCANA KENAIKAN UPAH MINIMUM BURUH 2022 DISEBUT TAK CUKUP
UNTUKKKEBUTUHAN LAYAK, 'BIAYA HIDUP TERUS NAIK'
Rencana kenaikan upah minimum buruh sebesar rata-rata 1,09% pada 2022 yang ditetapkan
oleh Kementerian Ketenagakerjaan diprotes para buruh karena dianggap terlalu kecil dan tak
cukup untuk kebutuhan hidup layak.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan kenaikan UMP yang
ditetapkan pemerintah tidak ada artinya karena tidak akan bisa meningkatkan daya beli
masyarakat, khususnya buruh.
"Daya beli kan salah satu instrumennya dari tingkat upah, kalau daya beli turun, otomatis
konsumsi turun. Kalau konsumsi turun, buruh berpendapat, pertumbuhan ekonomi tidak akan
tercapai targetnya karena investasi dan government expenditure lagi hancur karena Covid," kata
Said.
Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) melalui Ketua Bidang Organisasi yang juga
sekaligus Wakil Dewan Pengupahan Nasional, Adi Mahfudz Wuhadji, menilai kenaikan itu sudah
sesuai dengan regulasi.
"Kami sebagai pengusaha sangat tidak keberatan karena memang sesuai dengan Undang-
undang Cipta Kerja, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020, berikut turunannya yaitu PP 36
2021 tentang pengupahan," ujar Adi.
Sementara itu, ekonom CORE Indonesia, Hendri Saparini, mengatakan buruh, pengusaha, dan
pemerintah harus saling berkomunikasi untuk menghindari perdebatan terkait upah pekerja
sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Penolakan buruh: "Biaya hidup terus naik"
Salah seorang pekerja di perusahaan otomotif, Doles Saorman Sinaga, menilai angka rata-rata
kenaikan upah minimium yang ditetapkan pemerintah tidak memperbaiki kesejahteraan dia dan
rekan-rekan buruh lainnya.
Dia merasa pemerintah tidak pernah berada di pihak rakyat ketika menentukan upah para
pekerja.
"Saya selaku buruh dengan kenaikan itu, jauh dari kesejahteraan karena inflasi terus naik, biaya
hidup terus naik. Dengan adanya pandemi juga pengeluaran masyarakat terus naik. Di sini
pemerintah daerah maupun pusat lebih pro ke pengusaha daripada ke rakyat sendiri," kata
Doles.
Hidup sebagai buruh beranak dua dengan besaran gaji yang diterima saat ini, menurut Doles
serba pas-pasan. Bahkan saat pandemi, dia harus menguras tabungannya untuk menyokong
hidup keluarga kecilnya karena tak ada tunjangan yang diberikan perusahaan, hanya ada gaji
pokok.
Untuk tetap bertahan, istri Doles membantu dengan berjualan pakaian anak-anak.
"Kontribusinya bisa untuk menutupi biaya hidup sehari-hari, buat biaya makan sama jajan anak-
anak. Jadi sangat terbantu," ujar Doles.
Jika istrinya tidak berdagang, setengah pemasukan keluarga Doles sudah terpakai untuk
membayar cicilan rumah dan listrik yang kini tak lagi disubsidi. Belum lagi harus membayar
keperluan sekolah anaknya.
63

