Page 19 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 NOVEMBER 2021
P. 19

Ekonom Indef Tauhid Ahmad juga meminta pemerintah secara terang-terangan membuka cara
              menghitung rata-rata kenaikan UMP 2022 yang cuma setara inflasi itu. Memang kondisi ekonomi
              Indonesia masih dalam proses pemulihan, sehingga permintaan belum tinggi dan tingkat inflasi
              masih rendah.

              Tapi, menurutnya, hal ini tak bisa serta merta menjadi alasan pemerintah untuk menetapkan
              rata-rata kenaikan upah yang cuma setara inflasi. Apalagi, besaran upah untuk tahun depan
              yang kondisi ekonominya diproyeksi membaik dari tahun ini.

              Selain itu, bagi Tauhid, pemerintah juga tidak boleh menyampingkan pertumbuhan positif dari
              beberapa sektor usaha, seperti kesehatan dan telekomunikasi, meski pariwisata dan transportasi
              masih sangat tertekan. Artinya, kenaikan rata-rata upah tetap harus dicari jalan tengah yang
              pantas bagi buruh dari berbagai sektor usaha.

              "Rata-rata pertumbuhan sektor usaha 3 persen, maka kenaikan upah buruh tidak bisa cuma 1
              persen, meski ini dalam kondisi pemulihan ekonomi dan buruh minim daya tawar," kata Tauhid.
              Ia juga mewanti-wanti pemerintah soal pemerataan upah, di mana pemerintah ingin beberapa
              daerah upahnya tidak kelewat tinggi dibandingkan yang lain. Menurutnya, keinginan seperti ini
              memang susah untuk diterapkan di Indonesia.

              Alasan paling sederhana saja, misalnya karena harga bahan pokok di Papua memang berbeda
              dengan di Jawa Tengah. Maka, sudah seharusnya upah buruh di Papua lebih tinggi daripada di
              Jawa Tengah. "Justru kalau dipaksa ingin sama, jadinya malah bukan fair (adil), justru tidak fair
              karena pertumbuhan dan standar kebutuhan hidup di masing-masing daerah berbeda," jelasnya.

              Tadjuddin menilai kenaikan UMP 2022 ini sebenarnya bisa saja digugat ke Mahkamah Konstitusi
              (MK). Alasannya, karena memang perlu dijelaskan bagaimana cara menghitung formula kenaikan
              upah  hingga  cuma  dapat  besaran  1,09  persen.  "Tentu  bisa  digugat,  dipertanyakan  ke  MK,"
              terang dia.
              Menurutnya, masalah apakah sudah ada kerugian materiil seperti yang kerap dipertanyakan MK,
              hal ini bisa dicoba dulu. Bahkan, biarkan MK yang mempertimbangkan. "Meski belum berjalan
              (kebijakan upahnya), tapi bisa dilakukan kajian terhadap formula di UU, di PP dengan realitasnya.
              Jadi, nanti biar MK yang mempertimbangkan, dan cari titik temunya," kata Tadjuddin.
              Sementara,  Tauhid  menyoroti  dampak  penetapan  upah  buruh  ke  perekonomian.  Ia  menilai
              kenaikan besaran upah yang terlalu rendah tidak baik untuk perekonomian karena berpotensi
              membuat  permintaan  semakin  melemah  dan  dampaknya  bisa  ke  pertumbuhan  sektor  usaha
              juga.

              Sedangkan  dampak  lebih  luas,  akan  mempengaruhi  tingkat  pemulihan  daya  beli  dan
              pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang selama ini sudah tertekan pandemi covid-19. Hasil
              akhirnya tentu akan berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi. "Kenaikan upah yang terlalu rendah
              tidak bagus untuk perekonomian, meski kenaikan yang terlalu tinggi pun juga tidak baik, harus
              seimbang dan ada titik tengahnya," tutur Tauhid.

              Di  luar  masalah  besaran  upah,  sebetulnya  perusahaan  harus  memikirkan  tunjangan
              kesejahteraan buruh yang lainnya. Tujuannya, agar upah tidak menjadi tumpuan satu-satunya
              bagi buruh untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan mereka.

              "Yang tak kalah penting adalah perusahaan seharusnya bisa memberikan jaminan kesehatan,
              ketenagakerjaan,  sosial  untuk  tenaga  kerja,  anak  mereka,  bahkan  hingga  mereka  pensiun,"
              pungkasnya.



                                                           18
   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24