Page 18 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 NOVEMBER 2021
P. 18
"Yang perlu dipertanyakan adalah angka 1,09 persen ini dapatnya dari mana?" ucap Tadjuddin
kepada CNNIndonesia.com.
Ia menduga angka ini cuma berdasarkan tingkat inflasi yang menjadi salah satu indikator dalam
formula penyusunan upah minimum. Kalaupun benar, sambung dia, angkanya terlalu kecil
karena tingkat inflasi secara tahunan sampai Oktober 2021 sudah 1,66 persen.
Ia juga mempertanyakan pertimbangan indikator lain dalam formula penyusunan upah yang
tidak disertakan pemerintah. Pasalnya, menurut PP 36/2021, besaran UMP sejatinya juga
didasari oleh beberapa indikator lain yang menggambarkan kondisi ekonomi dan
ketenagakerjaan.
Misalnya, tingkat daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Nantinya,
berbagai indikator ini membentuk batas atas dan batas bawah sebagai rentang kenaikan UMP
2022.
Sementara pada upah minimum kabupaten/kota (UMK), masih ada pertimbangan indikator lain
selain UMP, yaitu pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah yang bersangkutan. Menurut dia,
berbagai formula ini tidak diterapkan.
"Di PP yang baru pakai banyak variabel yang kelihatannya ideal, bagus sekali, tapi kok pas
implementasi yang muncul cuma seputar inflasi? Bahkan lebih rendah dari inflasi, ini perlu
dipertanyakan karena apa yang ada di PP dan implementasi kok tidak kelop?" imbuhnya.
Tadjuddin menduga pemerintah mengambil jalan singkat mengeluarkan rata-rata UMP 2022
hanya sesuai dengan tingkat inflasi karena kesulitan mendapatkan data dari indikator lain, seperti
tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah.
Hal ini karena kedua data ini sejatinya tidak ada di Badan Pusat Statistik (BPS). Alhasil, indikator
yang digunakan cuma inflasi, meski hasil akhirnya pun justru di bawah inflasi.
"Sebenarnya, dari dulu pembahasan UU Cipta Kerja, yang menyusun saja sudah khawatir data-
data ini tidak ada di BPS, maka tidak heran jadinya begini, dasar yang dipakai ujung-ujungnya
cuma inflasi. Maka dari itu, pemerintah harus bisa secara transparan membuka bagaimana cara
mereka menghitung hingga dapat angka 1,09 persen ini," tuturnya.
Masalahnya, ada potensi buruh akan sulit melakukan pengeluaran karena kenaikan upah mereka
di bawah kenaikan barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti bahan pokok dan lainnya.
Ambil contoh UMP 2022 Provinsi DKI Jakarta, Kemnaker mengatakan UMP-nya masih yang
tertinggi sebesar Rp4,4 juta. Maka, kenaikan upahnya kalau 1,09 persen cuma Rp47.960 per
orang alias di bawah Rp50 ribu.
"Apa arti kenaikan kurang dari Rp50 ribu bagi buruh? Apa ini masuk akal? Ini hanya setara makan
siang atau makan malam tambahan saja. Jangankan buruh, saya pun kecewa kalau
keputusannya seperti itu," ungkapnya.
Kendati begitu, bukan berarti secara pintas pula untuk mengamini tuntutan buruh yang meminta
kenaikan upah minimum 10 persen pada tahun depan. Sebab, menurutnya, tuntutan ini pun
juga harus dijelaskan, dari mana datangnya hingga tiba-tiba 10 persen.
"Jadi kalau mau win-win solution ya pemerintah, buruh, dan pengusaha bertemu lagi, jelaskan
pertimbangan masing-masing, kenapa 10 persen, kenapa 1,09 persen, lalu cari titik temu, ya
bisa tengahnya mungkin 5 persen, tapi bisa juga dengan mempertimbangkan formula yang ada
namun dengan negosiasi," jelasnya.
17