Page 354 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 3 DESEMBER 2021
P. 354

Serikat pekerja /buruh menganggap UU 11/2020 cacat dan tidak bisa dipakai, termasuk aturan
              turunannya, yaitu PP 36/2021 tentang Pengupahan.
              PP  36/2021  juga  menghapus  upah  minimum  sektoral  (UMS)  dan  memberikan  pengecualian
              usaha mikro dan kecil dari kewajiban membayar upah minimum. Berbeda dengan PP 78/2015,
              PP 36/2021 menggunakan formula baru dengan variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan
              tenaga kerja, median upah, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi dari daerah yang bersangkutan.

              PP  36/2021  ini  juga  memperkenalkan  formula  untuk  menghitung  batas atas,  sehingga  upah
              minimum  di  sebuah  daerah  tidak  naik  jika  besarannya  melebihi  batas  atas.  Variabel  yang
              digunakan  untuk  menghitung  batas  atas  adalah  rata-rata  konsumsi  per  kapita,  rata-rata
              banyaknya  anggota  rumah  tangga,  serta  rata-rata  banyaknya  anggota  rumah  tangga  yang
              bekerja pada setiap rumah tangga. Dan perubahan lainnya adalah ada sanksi bagi kepala daerah
              yang tidak menaati PP 36/2021.

              Kecilnya kenaikan upah minimum ini sudah diprediksi, bahkan sejak 2015 ketika Pemerintah
              menerbitkan  PP  78/2015.  Sejak  itu,  upah  minimum  ditetapkan  dengan  formula  matematika,
              bukan  dengan  perundingan  di  dewan  pengupahan  daerah  seperti  sebelumnya.  Tahun  ini,
              berdasarkan  UU  11/2020  Tentang  Cipta  Kerja,  pemerintah  mengatur  cara  penetapan  upah
              minimum dengan PP 36/2021 yang akan berlaku untuk tahun 2022.

              Untuk merespons kecilnya kenaikan upah minimum, serikat pekerja/buruh memberikan tekanan
              kepada  bupati/wali  kota  untuk  merekomendasikan  besaran  upah  minimum  yang  lebih  besar
              kepada  gubernur.  Tetapi  rekomendasi  itu  ditolak  dan  gubernur  tetap  menggunakan  formula
              dalam PP 36/2021 untuk menetapkan UMP dan UMK.

              Upah  minimum  dapat  dihitung  dengan  formula  matematika  dengan  variabel  ekonomi
              sebagaimana  yang  kita  gunakan  sekarang  dan  bisa  juga  dirundingkan,  seperti  yang  dipakai
              sebelum tahun 2015. Beberapa literatur memberikan kelebihan dan kekurangan dari kedua cara
              tersebut.

              Menurut Dickens (2015), model perundingan memberikan fleksibilitas dan ruang dialog antara
              pekerja dengan pengusaha, tetapi prosesnya lama dan besarannya sulit diprediksi, apalagi jika
              ada intervensi politik. Sementara itu, model formula memberikan transparansi dan kepastian
              dalam proses dan ketepatan waktu, tetapi kurang fleksibel dalam merespons keadaan pasar
              tenaga kerja yang dinamis.
              Selain itu, sering terjadi formula yang ditetapkan tidak dapat memasukkan semua faktor ekonomi
              dan ketenagakerjaan yang sangat kompleks (ILO, 2017). Kita perlu mencari model yang sesuai
              kemampuan  institusi  yang  dimiliki  oleh  suatu  negara,  kemampuan  badan  statistik,  dan
              kemampuan para pemangku kepentingan (ILO, 2017) untuk mencapai tujuan kebijakan upah
              minimum.

              Dalam  konteks  Indonesia,  Nugroho  (2021)  menemukan  bahwa  model  formula  matematika
              memberikan biaya transaksi ex-ante lebih rendah dibandingkan model perundingan, tetapi dapat
              meningkatkan risiko biaya ex-post. Penelitian tersebut menggunakan transaction cost economics
              (ekonomi biaya transaksi) dengan metode Delphi untuk mendapatkan konsensus pakar yang
              menjadi narasumber penelitian.

              Pakar dalam penelitian tersebut sepakat bahwa penghapusan perundingan, penggunaan data
              Badan Pusat Statistik (BPS), dan penghapusan peran kepala daerah dalam menetapkan besaran
              upah  minimum  meningkatkan  efisiensi  waktu  dan  efisiensi  koordinasi.  Tetapi,  pakar  tidak
              mencapai konsensus dalam menilai risiko perselisihan hubungan industrial yang muncul karena
              penerapan  PP  36/2021.  Sebagian  pakar  menilai  penggunaan  formula  menurunkan  risiko


                                                           353
   349   350   351   352   353   354   355   356   357   358   359