Page 135 - Berita Omnibus Law Cipta Kerja 17-18 Februari 2020
P. 135
diharapkan mampu meringkas prosedur izin bisnis di Indonesia yang saat ini diatur oleh lebih dari
24.000 peraturan, baik peraturan pemerintah pusat maupun daerah.
Konon para investor juga tidak tertarik dengan urusan ketenagakerjaan di Indonesia. Selama periode
waktu tahun 2004-2018, tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di bawah Tiongkok dan
Malaysia, namun biaya tenaga kerja (Indeks Unit Tenaga Kerja) Indonesia justru lebih tinggi dari kedua
negara tersebut.
Proses pengesahan Omnibus Law akan berdampak terhadap sedikitnya 81 UU dengan 1.244 pasal. 11
klaster pembahasan yang akan menjadi kerangka pewacanaan lanjutan RUU ini adalah (1)
penyederhanaan izin bisnis; (2) prasyarat investasi; (3) ketenagakerjaan; (4) pemudahan,
pemberdayaan, dan perlindungan Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (UMKM); (5) kemudahan usaha;
(6) fasilitasi kegiatan riset dan inovasi; (7) administrasi pemerintahan; (9) pengenaan sanksi; (10)
pengadaan tanah dan pemanfaatan kawasan hutan; (11) proyek dan investasi pemerintah, dan
optimalisasi kawasan ekonomi.
Esai ini fokus pada pembahasan izin usaha dan kaitannya dengan pelestarian lingkungan serta aspek
ketenagakerjaan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak pekerja.
Potensi Kekerasan Struktural
Membangun infrastruktur yang ramah terhadap investasi dengan melonggarkan prosedur pelestarian
lingkungan hidup sekaligus abai pada kesejahteraan pekerja akan berpotensi pada berlangsungnya
kekerasan struktural. Terminologi kekerasan struktural diperkenalkan oleh Johan Galtung, sosiolog
asal Norwegia yang fokus pada studi-studi mengenai konflik dan perdamaian. Menurut Galtung,
peristiwa kekerasan tidak melulu harus dilakukan secara langsung (directviolence) dalam bentuk
perlukaan fisik atau psikis di mana pelaku dan korbannya berada dalam satu momen waktu dan/atau
lokasi yang sama (Galtung & Hoivik,1971).
Kekerasan, sebagai suatu alat kontrol dan alat kuasa (Parsons, 2007), juga bisa terjadi secara tidak
langsung. Kekerasan struktural dimulai saat sumber daya terdistribusikan secara timpang. Galtung
memberikan contoh bahwa membiarkan kelompok marjinal tidak bisa mengakses layanan kesehatan
merupakan bentuk kekerasan struktural; sebab secara substansial, tidak memberikan pertolongan
medik kepada orang sakit yang lemah secara ekonomi memiliki dampak penderitaan yang sama
dengan peristiwa penyerangan fisik kepada seseorang yang dilakukan secara langsung.
Dalam konteks Omnibus Law, kekerasan struktural bisa berpotensi terjadi apabila wacana perizinan
amdal (analisa dampak lingkungan hidup) jadi diperlonggar atau dihapuskan. Dalam proyeksi RUU ini,
terdapat diversitas mekanisme penilaian terhadap dampak linkungan berdasarkan jenis usaha. Hanya
jenis usaha yang di anggap "memiliki dampak penting" terhadap lingkungan yang membutuhkan izin
lingkungan.
Prosedur untuk memastikan terjaganya keseimbangan ekologi bisa jadi memakan waktu. Bagi badan
usaha, bisa jadi proses ini dianggap tidak ekonomis. Dengan prosedur amdal saja sebenarnya bukan
jaminan lingkungan hidup kita tetap lestari, apalagi jika prosedur tersebut diperlonggar atau
dihilangkan. Suhu panas yang ekstrem, polusi udara, asap akibat pembakaran hutan, banjir, dan
peristiwa alam lain yang telah kerap muncul sebagai dampak dari rusaknya lingkungan, akan semakin
parah apabila pelestarian alam dikesampingkan dalam upaya pencapaian kemajuan ekonomi. Potensi
kekerasan struktural lain yang berpotensi terjadi adalah wacana munculnya sejumlah gagasan dalam
RUU yang tidak berpihak pada kesejahteraan pekerja. Sejauh ini sejumlah kekhawatiran kelompok-
kelompok buruh terhadap Omnibus Law antara lain, wacana penghapusan pengaturan tentang upah
minimum, pengurangan jumlah pesangon, dan dekriminalisasi kejahatan yang dilakukan perusahaan
dengan memindahkannya kedalam wilayah hukum perdata.