Page 97 - Berita Omnibus Law Cipta Kerja 17-18 Februari 2020
P. 97
Kalau dipaksakan UMP Jawa Barat Rp 1,8 juta, katanya, UMK Kabupaten Bekasi yang besarnya Rp 4,4
juta, jadi turun.
Poin kedua yang ditolak adalah terkait pesangon. Dia memprotes ketentuan yang menyebutkan
besaran pesangon yang harus dibayarkan maskimal hanya 17 kali gaji.
Ketiga, Said menyebut draft RUU Cipta Kerja membebaskan penggunaan tenaga kerja outsourcing di
semua jenis pekerjaan dengan jam kerja tak terbatas.
"RUU cipta kerja bolehkan karyawan kontrak dan outsourcing bebas. Itu nyambung ke yang
sebelumnya, berarti hilangkan pesangon dong. Bu Menaker bilang ada sweetener 5 bulan. Kita enggak
butuh itu, butuhnya job security dan salary security," katanya.
Keempat, jam kerja yang dinilainya eksploitatif. Kelima, adanya potensi penggunaan tenaga kerja
asing (TKA) unskilled workers atau buruh kasar.
"Jadi tak perlu izin tertulis menteri. Pakai izin menteri saja masuk TKA China di proyek Meikarta
ketahuan tuh gara-gara corona. Kalau itu dihapus, maka mudah TKA buruh kasar masuk," kata dia.
Selanjutnya, Said memprotes poin mengenai ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang
menurutnya dipermudah.
Ketujuh, berkurangnya jaminan sosial bagi pekerja buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan
pensiun. Lalu, penggunaan karyawan kontrak yang tak terbatas.
"Pekerja sakit. Pekerja yang dapat haid. UU 13 tahun 2003, 2 hari haid upah dibayar. Yang keluarga
nikah, orang tua meninggal libur 1 hari tidak dipotong gaji. Di Omnibus law tidak dibayar," kata dia.
Terakhir, soal sanksi pidana yang, kata dia, dihilangkan. Menurutnya, belum ada pasal yang
menyebutkan bahwa pengusaha akan mendapat sanksi apabila telat membayar upah maupun tak
memberi pesangon.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea, juga
mengungkapkan hal yang sama dengan Said Iqbal.
Ia mengaku sangat terkejut dengan isi draf Omnibus Law Cipta Kerja karena banyak poin yang
merugikan buruh.
"Saya masih teringat cita-cita ayahanda Almarhum Jacob Nuwa Wea saat menyusun UU No 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakaerjaan. Aturan ini dibuat saat Jacob Nuwa Wea menjabat Menakertrans di
era Presiden Megawati," ujar Andi di Jakarta, Minggu (16/2/2020).
"Isinya sangat melindungi nasib buruh, berbeda 180 derajat dengan Omnibus Law Cipta Kerja yang
justru menyulitkan nasib buruh," sambungnya.
Menurutnya, ada banyak hak buruh yang dihapus tak lagi berlaku dengan hadirnya omnibus law
tersebut, seperti perubahan jam kerja, sistem kerja, kerja kontrak, outsourcing, upah minimum, dan
pesangon.
Selain itu, aturan tenaga kerja asing, sistem kerja dari long life menjadi fleksibel, serta soal jaminan
sosial.
"Aturan yang membela nasib buruh dengan membatasi masa kontrak kerja, pesangon yang memadai,
outsourcing terbatas untuk 5 jenis pekerjaan, sanksi pidana untuk pengusaha yang tidak menaati
aturan dalam UU No 13 Tahun 2013, kenapa itu semua harus dihapuskan?," paparnya.
Andi pun menyebut serikat buruh hingga saat ini tidak pernah diajak berdiskusi dalam Omnibus Law
Cipta Kerja, meski pemerintah mengklaim telah berkomunikasi.