Page 107 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 22 DESEMBER 2020
P. 107
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja, Denni Puspa Purbasari,
mengatakan Kartu Prakerja sejak awal memang didesain untuk pekerja aktif maupun
pengangguran. Karena pandemi, Kartu Prakerja diubah menjadi semi-bansos demi menopang
daya beli pekerja yang terdampak.
Menurut survei BPS, jumlah pekerja yang terdampak mencapai 29 juta orang, 5 juta di antaranya
menjadi tidak bekerja sama sekali dan sisanya berkurang jam kerjanya.
Dari seluruh gelombang yang sudah digelar, banyak yang merasakan manfaat dari Kartu. Insentif
pasca pelatihan yang jumlahnya Rp 2,4 juta, mayoritas digunakan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari hingga membayar utang. Kartu Prakerja juga melahirkan pelaku usaha mikro-kecil
baru. Menurut survei BPS, sebanyak 23 persen penerima menggunakan insentif untuk modal
usaha.
"Kartu Prakerja jadi semacam sekoci atau pelampung supaya mereka yang tidak ada di data
Kemensos, bisa ditolong daya belinya. Kartu Prakerja yang paling siap saat itu," kata Denni
menjawab pertanyaan reporter kumparan, Ema Fitriyani, dalam wawancara khusus, Senin
(14/12).
Dalam perbincangan yang berlangsung sekitar setengah jam itu, Denni menjelaskan secara detail
pelaksanaan program Kartu Prakerja yang kini menjadi sandaran bagi mereka yang terdampak
pandemi. Berikut petikan wawancaranya: Menurut saya ini merefleksikan pertama, bahwa
informasi tersebar dengan baik. Kedua, adanya minat dan kebutuhan masyarakat terhadap
program ini. Ketiga, adanya kemudahan akses sehingga orang mampu mendaftar. Jadi tiga hal
ini tadi.
Sebenarnya dari dulu sampai sekarang, aturannya sama, yaitu Kartu Prakerja boleh untuk
pekerja aktif maupun pengangguran.
Penganggurannya bisa atau korban PHK. Nah karena pandemi, jumlah pengangguran, pekerja
dirumahkan, atau korban PHK, naik sangat tinggi. Survei BPS bulan Agustus mengkonfirmasi ini,
(jumlah pekerja) yang terdampak mencapai 29 juta orang, di mana 5 juta di antaranya jadi tidak
kerja sama sekali dan sisanya berkurang jam kerjanya.
Yang mungkin berbeda, di masa pandemi ini Prakerja jadi semi-bansos. Desain awalnya,
memberikan kompetensi. Insentifnya kecil sekali. Namun, karena pekerja yang terdampak
pandemi ini sangat besar, masyarakat kan turun. Karena itu Kartu Prakerja jadi semacam sekoci
atau pelampung supaya mereka yang di luar data bansos Kemensos, bisa ditolong daya belinya.
Jadi Kartu Prakerja yang paling siap saat itu.
Karena di masa pandemi mobilitas masyarakat turun, maka pelatihan harus digelar tanpa tatap
muka. Karena biasanya pelatihan yang bagus-bagus ada di kota-kota besar, takutnya ada
mobilitas orang dari kampung ke kota. Selain ongkos, ini juga berisiko secara kesehatan. Jadi
sistemnya dibuat digital, supaya orang beraktivitas dari rumah saja.
Tapi ketika online, kan makan data internet. Kalau pelatihannya panjang-panjang atau terlalu
lama, selain menghabiskan paket data, orang juga keburu butuh uang, untuk menopang daya
beli juga. Karena itu pelatihannya diminta agar banyak yang praktis. Jadi ada pelatihan yang
butuh 30 hari diselesaikan, ada juga pelatihan yang 6 jam (nonstop) saja selesai. Sekali lagi
tujuannya untuk bantu masyarakat.
Kalau hasil, kita mengacu saja pada Sakernas BPS. Pertama, BPS mengatakan 88,9 persen
penerima Prakerja yang selesaikan pelatihannya mengatakan keterampilan kerja mereka
meningkat. Kedua, 81 persen penerima Prakerja menggunakan insentifnya untuk kebutuhan
sehari-hari.
106

