Page 58 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 20 JUNI 2019
P. 58
Pemilik rumah, korban dan sejumlah WNA asal Tiongkok kemudian digelandang ke
Polda Kalbar. Hasil penyidikan, Polisi menetapkan pemilik rumah sebagai tersangka.
Sementara, 7 WNA asal Tiongkok dilimpahkan ke Imigrasi Kelas Satu Pontianak dan
di amankan di ruang Detensi. Ketujuh WNA RRC itu disinyalir melanggar UU
keimigrasian dan terancam dideportasi.
Kasus TPPO dan TKI ilegal di Kalbar bagai gunung es yang tampil di permukaan.
Sementara, dalam kelangsungan pelayanan publik di Imigrasi Wilayah Kalbar,
ternyata hingga akhir Mei 2019 Kalbar dalam ranking 10 besar dengan data 211
dalam hal menolak penerbitan paspor WNI. Penolakan tersebut dilakukan di imigrasi
Sambas, Singkawang, Pontianak, dan Sanggau.
Data tersebut memang jauh menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yakni 402 pemohon yang ditolak pada tahun 2018, yang telah menempatkan Kalbar
pada ranking kedua secara nasional di bawah Medan, Sumut yang menimbulkan
keprihatinan Kalbar dalam darurat TPPO.
Mencermati kasus TPPO dan TKI di Kalbar, Wakil Ketua Himpunan Psikolog Wilayah
Kalbar, Yulia Ekawati Tasbita mengurai bahwa kawin kontrak dan iming-iming rupiah
yang menjadi modus operandi oknum pelaku TPPO hingga kini menyisakan cerita
duka memilukan. Bahkan di antara keluarga korban masih menaruh harapan korban
dapat kembali ke Tanah Air dan berkumpul sedia kala bersama orangtua dan
saudara.
"Saya kira memang kasus TPPO dan TKI ilegal ini sangat rentan terjadi di sejumlah
daerah di Kalbar. Motif ekonomi, pendidikan rendah, minimnya pengetahuan dan
keterbatasan informasi menjadi faktor penyebabnya. Tapi saya kira diperlukan
instrumen penting, sinergi preventif guna mencegah, bahkan penindakan tegas.
Ironis memang, apalagi umumnya korban TPPO dan TKI ilegal ini umumnya adalah
perempuan dan usia bawah umur," tutur Yulia.
"Ke depan juga perlu dipertimbangkan bagaimana kelanjutan upaya pendampingan
dan pemulihan terhadap korban TPPO, khususnya wanita bawah umur. Ini peting
agar psikis dan kejiwaan korban tidak terganggu dan korban perlu kita dorong agar
memiliki masa depan dalam meniti kehidupannya," tambah dia.
Secara prinsip, menurut Yulia dibutuhkan komitmen bersama sebagai bentuk
pertanggungjawaban moral pihak terkait. Baik yang terlibat langsung dalam proses
pengurusan administrasi kependudukan, mulai dari RT, tokoh agama dan tokoh
masyarakat, Kepala Desa, Dinas Catatan Sipil, misalnya.
"Instrumen penting sebagai mitra dan perpanjangan tangan pemerintah inilah
menurutnya tidak boleh abai dan kebobolan. Sehingga malapraktik administrasi dan
nama-nama pejabat penting yang berwenang benar-benar bersih dari segala bentuk
manipulasi dan pemalsuan dokumen yang dilakukan oknum-oknum tidak
bertanggung jawab," ujarnya.
Page 57 of 63.