Page 347 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 347
di selangkangan. Sesuatu yang mengempal. Lidahnya menjulur
sedikit, terhimpit di antara karang geligi. Matanya cembung,
nyaris menempel pada dinding yang renggang di sambungan
papan dan batu.
Dalam celah itu ia melihat film biru yang hidup. Perem-
puan bisu itu—satusatunya perempuan cantik yang ada dalam
hidupnya, yang bisa ia sentuh—tampak di sana. Ia bisa meng
hidupkan baunya. Bau humus yang biasa ia curi jika berdiri de
kat perempuan itu, dengan hidung kelelawarnya yang setinggi
selangkangan si perempuan. Ia menenggak liurnya. Dilihatnya
lelaki muda itu kini dibaringkan. Lalu perempuan itu merambat
ke atasnya. Nafsu, cemburu, dan amarah bergumpal di dada si
pengintai, matanya memastimasti, meski tak melihat dengan
pasti, saat ketika perempuan itu mengepas diri pada kaku anak
muda itu. Dalam cahaya kuning temaram.
Ia bersumpah akan meminta jatahnya.
Dan pada malam yang telah dia intai, makhluk berkaki
pendek itu mengendapendap. Itulah malammalam tirakat,
sehingga Sang Tuan tak mengundang istrinya ke peraduan.
Ia menyembunyikan diri sebagai gumpalan di bawah ranjang,
sebelum perempuan itu masuk kamar. Ia ingin mencucup susu
perempuan itu seperti kelelawar menghisap daging buah. Ia
ingin membalaskan gemasnya, membuat perempuan yang tak
bisa merintih itu menggelepar. Lebih gelepar daripada yang
bisa dibuat pangeran tampan. Jauh di dasar dirinya ia tahu
bahwa perempuan itu tak akan membaringkan dia, tak akan
mengusap wajahnya yang bertonjolan, seperti dilakukannya
terhadap lelaki muda itu. Perempuan itu tak akan memberikan
kelembutannya kepadanya. Karena itu, ini harus menyerupai
hukuman. Ia ingin menjadi kelelawar. Ia akan mencucup
susunya, dan mencucuk kemaluannya.
33