Page 409 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 409
dalam menghakimi nilai lain. Seperti, misalnya, menghakimi
kepercayaan tradisional dengan nilainilai modern. Atau—
yang juga kerap Parang Jati jadikan contoh—menghakimi
agamaagama Timur dengan kaca mata monoteisme. Aneh,
dan butuh waktu bagi prosesorku yang lamban ini untuk
mengolah, kenapa sikap adil ini melibatkan dua cara yang tam
pak berbalikan: memakai ukuran yang sama untuk menilai
diri, dan memakai ukuran orang lain untuk memahami yang
lain. Sederhananya begini: sebelum menganggap orang lain
salah, cobalah pakai ukuran mereka; sebelum menganggap
diri sendiri tidak bersalah, pakailah ukuran yang sama. Tapi
bagaimana kedua hal yang seperti positif dan negatif ini bekerja
bersama, aku terus terang masih belum bisa menerangkannya.
Maklum prosesorku keluaran lama.
Sudahlah. Sebetulnya, yang aku ingin katakan adalah ini:
Kaum reformis terlalu sering mencela militer. Parang Jati juga
menyimpan sejenis kebencian yang sama. Seolaholah segala
perilaku kekerasan berasal dari militer. Memang, sialnya, hari
itu terbukti bahwa polisi dan tentara saling serbu. Terpenuhi
lah segala tuduhan bahwa mereka tak punya otak untuk berun
ding, hanya punya otot untuk memuaskan impulsimpuls. Tapi,
coba lihat!, bukankah pelajar dan mahasiswa—orangorang
sipil!—juga berbuat hal yang sama persis.
Tawuran antar sekolah adalah hal yang setiap pekan ada
di zamanku. Di Jakarta sebuah sekolah menengah teknik—
anehnya adalah almamater putra bungsu Sang Jenderal—
sampai dipindahkan ke luar kota antah berantah karena setiap
kali membikin kemacetan lalu lintas. Ada SMA yang sampai
dilikuidasi dan disatukan dengan SMA lain karena kerjanya
berkelahi melulu. Muridmuridnya membajak bus kota untuk
membikin serbuan ke sekolah musuh. Mereka mengejarngejar
murid sekolah lawan dan melempari sembarang kendaraan
dengan batu. Alasannya, musuh mereka bersembunyi di sela
sela lalu lintas. Mereka membakar motor orang di jalan raya.
3