Page 410 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 410
Begitulah, beberapa sekolah identik dengan tawuran. Se
makin menuju akhir rezim Sang Jenderal, tawuran naik kelas
ke antar universitas. Untunglah tidak turun kelas dan tidak
terjadi antar Taman Kanakkanak. Tapi, ya!, ini yang ingin
kukatakan. Tidak militer tidak sipil, kekerasan terjadi!
Tidak adil mengatakan bahwa tak ada yang bisa diharap
kan dari peran serta militer. Aku berbeda pendapat dengan
Parang Jati.
Ada dua perwira muda yang kukenal dengan akrab. Aku
percaya penuh pada kesatriaan mereka. Mereka berasal dari
sebuah korps elit. Aku tak bisa menyebut nama asli atau satuan
mereka, sebab mereka masih hidup ketika kutulis buku ini.
Sebutlah mereka bernama Karna dan Kumbakarna. Inilah
nama dua satria, dalam Mahabarata dan Ramayana, yang oleh
sejarah hidup berada di pihak yang jahat, seperti titik putih di
bidang hitam Yin Yang. Mereka memelihara sikap satria meski
berada dalam kawanan yang rakus dan jumawa. Tidakkah per
juangan mereka sesungguhnya lebih berat, Karna dan Kumba
karna ini.
Demikian pula Karna dan Kumbakarna yang kukenal.
Sampai hari ini pun aku masih berhubungan dengan mereka,
meski telah jarang, oleh kesibukan mereka, dan oleh rasa pedih
di hatiku. Tapi aku tak pernah meragukan kesatriaan mereka.
Aku tak bisa terlalu bercerita dengan rinci tentang keduanya,
demi pekerjaan mereka. Aku harap Anda memaklumi.
Karna dan Kumbakarna inilah yang kepada mereka aku
mengadu mengenai apa yang terjadi di Sewugunung. Ku
bincangkan untuk menjadikan tempat ini lahan pendadaran
militer. Agar dengan demikian, perusahaan tidak merangsek
seluruh tebing. Meski Parang Jati tidak setuju pada rencanaku,
tetaplah aku menyampaikan cadanganku, setidaknya sebagai
Plan B jika Parang Jati gagal dengan “Strategi Budaya”nya.
00