Page 135 - BUMI TERE LIYE
P. 135

TereLiye “Bumi” 132



                  Si genius  ini  pasti  jago  me-mermak  apa  pun.  Suara  bip-bip-bip  terdengar
                  semakin  cepat.

                         ”Siapa  yang  datang?”  Seli  bertanya,  beranjak  mendekat,  me­natap
                  layar  peralatan  Ali.


                         Aku  menoleh  ke  pintu  aula.  Di  luar  memang  ramai  suara  orang.
                  Halaman  sekolah  juga  sudah  dipenuhi  sirene  mobil  pe-madam  kebakaran.
                  Selain  punya  jalan  tersendiri,  ada  akses  pintas  ke  gardu   listrik   itu melewat i
                  sekolah.  Guru?  Petugas?  Mereka  akan  masuk  ke  dalam  aula.

                         ”Aku  juga  tidak  tahu  siapa  mereka,  Sel.”  Ali  menggeleng.  ”Me­reka

                  jelas  tidak  akan  datang  lewat  pintu  aula,  Ra.”

                         ”Tidak  melewati  pintu  aula?  Bagaimana  mereka  masuk?”  Seli  jadi  ikut
                  panik.  Aula  sekolah  tidak  memiliki  pintu    lain,    juga   jendela.  Hanya  ada
                  kisi-kisi  di  seluruh  dinding  untuk  sirkulasi  udara.  Itu  pun  posisinya  empat
                  meter  lebih  di  atas  lantai.  Kucing  pun  tidak  bisa  melewatinya.

                         ”Aku  tidak  tahu  bagaimana  mereka  akan  masuk  ke  aula.”  Ali
                  meng­geleng,  berusaha  menjelaskan  dengan  cepat.  ”Aku  meletak -kan
                  banyak  sensor  di  sekolah  sejak  kejadian  Ra diusir  dari  kelas  matematika.  Ra

                  tidak  mau  mengaku  bisa  menghilang,  jadi  aku  tidak  punya  pilihan,  mencar i
                  buktinya  dengan  merakit  peralatan.  Alatku  tidak  hanya  berfungsi  merekam,
                  tapi  sekaligus  merasakan.  Jadi  kalau  ada  yang  bergerak  tidak  terlihat,  tetap
                  bisa  ketahuan.  Kalian  tahu,  itu    mudah    dilakukan,    tapi    susah
                  menjelaskannya  lebih  detail.”  Si  genius  itu  menyisir  rambut  berantakanny a
                  dengan  jari  tangan,  menatap  tajam  layar  tablet  di tangannya.  ”Mereka  sudah
                  dekat  sekali.”

                         Dekat  apanya?  Aku  dan  Seli  saling  tatap,  memeriksa  aula  dengan
                  panik.


                         Hanya  ada  kami  bertiga  di  dalam.  Tidak  ada  siapa-siapa  di  aula
                  sekolah.  Tiang  basket  tegak  mematung  di  tengah.  Beberapa  bola  voli,  alat
                  lompat  tinggi,  dan  trampolin  tergeletak  di  sudut-sudut.  Cahaya  matahar i
                  menembus  kisi-kisi  dinding.  Tinggi  aula  ini  hampir  5 meter,  dengan  luas   20
                  x 30  meter.

                         ”Mereka  banyak  sekali,  delapan  orang  setidaknya.”  Ali  men­desis.






                                                                            http://cariinformasi.com
   130   131   132   133   134   135   136   137   138   139   140