Page 136 - BUMI TERE LIYE
P. 136

TereLiye “Bumi” 133



                         Aku  dan  Seli  menelan  ludah,  menatap  gentar  ke seluruh  arah.

                         Aula  tiba-tiba  meremang,  seperti  ada  yang  melapisi  se-luruh  dindin g
                  aula  dengan  plastik  hitam.  Tidak  ada  lagi  cahaya  mata-hari  yang  masuk ,
                  seolah  di luar  telah  beranjak  malam.  Suara  bising  sirene  di halaman  sekolah,
                  juga  orang-orang  yang  berteriak  meredup,  kemudian   senyap   sama  sekali.


                         Aku  menatap  sekitar  dengan  gentar,  apa  yang  sebenarnya  sedang
                  ter-jadi?   Seli   patah-patah      berdiri,   berjaga-jaga.     Ali   di  se-belahku
                  me-masukkan  tabletnya  ke dalam  tas ransel.  Kami  ber-tiga  berdiri  rapat.

                         Aula  sekolah  berubah  persis  seolah  kami  sedang  ada  di  tanah  lapang

                  luas,  tapi  pada  malam  hari,  dengan  semburat  cahaya  bu-lan  yang  lembut .
                  Kami  bisa  menatap  kejauhan,  meski  tidak  jelas.


                         ”Mereka  tiba,”  Ali  berbisik  pelan,  suaranya  terdengar  berseman gat
                  berbeda  sekali  dengan  intonasi  suaraku  atau  Seli  yang  cemas.

                         Aku  melirik  Ali,  hampir  menepuk  dahi  tidak  percaya.  Si  genius  ini
                  sejak  tadi  menganggap  semua  ini  keren  dan  hebat.  Tidakkah  dia  tahu  bahwa
                  ini  boleh  jadi  amat  berbahaya,  bukan  sekadar  seru-seruan  meledakkan
                  laboratorium  fisika.  Kami  bah-kan  tidak  tahu  apa  yang  sebenarnya  sedang

                  terjadi.  Apa  maksud  semua  ini?  Seli  merapat  di  sebelahku,  wajahnya  sama
                  sepertiku,  cemas.

                         Beberapa  detik  lengang.

                         Dari  dinding  seberang,  dari  jarak  tiga  puluh  meter  terlihat  lubang
                  dengan  pinggiran  hitam  yang  semakin  lama  semakin  besar.  Seperti  ada
                  gumpalan  awan  hitam  bergulung,  perlahan  membuka  celah,  mencipt akan
                  lorong.  Kami  semakin  tegang,  menunggu.

                         Saat  lubang  itu  sudah  berukuran  setinggi  orang  dewasa,  me-lint as
                  dengan  amat  mudah,  delapan  orang  membawa  panji-panji  tinggi.  Mereka
                  muncul  dari  lubang,  berderap  maju,  mendekat  dengan  cepat.  Pakaian
                  mereka  berwarna  gelap.  Aku  tidak  tahu  pasti  warnanya.  Aula  remang.
                  Mereka  berperawakan  ramping  tinggi,  laki-laki,  dengan  rambut  panjan g
                  diikat  di  belakang.  Wajah        mereka  yang  tampan  seperti  bercahaya,
                  cemerlang.








                                                                            http://cariinformasi.com
   131   132   133   134   135   136   137   138   139   140   141