Page 268 - BUMI TERE LIYE
P. 268

TereLiye “Bumi” 265



                  sudah  berada  di sebelah  barat.  Entahlah  se-karang  sudah  jam  berapa,
                  bahkan  aku  lupa  ini  hari  dan  tanggal  berapa.

                         Hutan  lebat  berada  di  belakang  kami,  lengkap  dengan  pohon-pohon
                  tingginya.  Serombongan  burung  berwarna  putih  terbang  rendah.  Suara
                  kelepak  dan  lengkingannya  memenuhi  langit-langit  sungai.  Juga  kuak
                  panjang     bebek  sungai,     sayap  mereka       terentang     lebar,  melint as    di
                  permukaan.  Kaki  mereka  tangkas  menyentuh  sungai  yang  tenang.  Setelah
                  mual  menaiki  kapsul  terbang,  pemandangan  di  stasiun  darurat  cukup
                  menghibur  kami.


                         Seli  melangkah  di  belakangku,  menutup  dahi  dengan   telapak   tangan,
                  silau.  Kakinya  ikut  menyentuh  pasir  putih,  menggerak-gerakkan  jari  kaki.
                  Sepatu  hitam  yang  kami  kenakan  seolah  menyatu  dengan  kulit.  Kami  bisa
                  merasakan  lembutnya  pasir.  Seli  mengembuskan  napas.  Wajahnya  yang  tadi
                  tegang  dan  pucat  kembali  memerah.

                         Sedangkan  Ali  dipapah  Ilo turun  dari  kapsul.

                         ”Kamu  bisa  berjalan  sendiri?”  Ilo  bertanya  kepada  Ali.

                         Aku  menoleh,  menerjemahkan  kalimat  Ilo.


                         ”Aku  bisa  berjalan  sendiri.”  Ali  menyeka  wajahnya.  Dia   terlihat   kusut
                  dan  lemas.  ”Tapi  kita  tidak  berjalan  mendaki  lereng  lagi,  kan?”


                         Ilo  tertawa  mendengar  terjemahanku.  ”Tidak,  kita  tidak  akan
                  mendaki.  Aku sengaja  keluar  di stasiun  darurat  paling  dekat   dengan   rumah
                  peristirahatan.  Rumah  itu  ada  di  teluk  kota.  Tapi  tidak   dekat,   masih  dua
                  belas  kilometer.  Kita  berjalan  di tepi  sungai  ini,  menghilir   hingga  teluk.”

                         ”Dua  belas  kilometer?”  Ali menggeleng.  Dia  malah  duduk  di hampar an
                  pasir  sungai.



                         Aku melotot,  menyuruhnya  berdiri.  ”Ali,  ini  bukan   saatnya   isti­rahat .
                  Pasukan  Bayangan  bisa  muncul  kapan  saja  di  peron  stasiun  di  belakang
                  kita.”









                                                                            http://cariinformasi.com
   263   264   265   266   267   268   269   270   271   272   273