Page 40 - BUMI TERE LIYE
P. 40

TereLiye “Bumi” 37



                         Malam  itu,  aku  telanjur  senang  dengan  hadiah  kucing  di  dalam   kotak
                  berwarna  pink  itu.  Aku sedikit  pun  tidak  mem-per-hatikan  percakapan  Papa
                  dan  Mama.  Dan  karena  sejak  usiaku  dua  puluh  dua   bulan,  sejak  bermain
                  petak  umpet  itu,  keluarga  kami  terbiasa  dengan  hal-  hal  aneh,  soal  kucing
                  itu  cepat  atau  lambat  juga  dianggap  biasa  saja.

                         Bahkan  saat arisan  keluarga  diadakan  di rumah  kami  beberapa   bulan
                  kemudian,  Tante  Anita  berseru  riang,  ”Aduh,  sejak  kapan  Ra  punya  kucing?
                  Kok  nggak  bilang-bilang  sih,  Ra.  Cantik  sekali.  Kayaknya  lebih  cantik
                  di-banding  kucing  Tante,  ya.”


                         Sebelum  aku  menjawab,  Mama  justru  memotong,  bertanya  balik  ke
                  Tante,  ”Bukannya  kamu  yang  kirim  kotak  pink  itu?  Hadiah  ulang  tahun     Ra
                  enam  bulan  lalu?”

                         Tante  Anita  menggeleng  bingung.  ”Aku kan  mengirimkan  sweter.  Lagi

                  pula  kalau  kucing­nya  secantik  ini,  lebih  baik  untuk  aku  saja.”  Tante  Anita
                  lantas  tertawa.

                         Tidak  ada  yang  tahu  siapa  sebenarnya  yang  mengirimkan  kotak
                  berwarna  pink,  beralaskan  beludru  dan  ditutup  kain   sutra   terbaik   itu,   dan
                  tidak  ada  yang  berusaha  mencari  tahu  siapa    yang  me-ngirim---kan- nya.
                  Seiring  waktu  yang  berjalan  cepat,  tidak  ada  yang  terlalu  memperhat ikan
                  saat  aku  bermain  kejar-kejaran  dengan  dua  kucingku  di  taman,  saling
                  menggelitiki,     basah-basahan,      memberi-kan         susu,    dan  menyiapkan
                  makanan.  Bagiku,  kucing  itu selalu  ada  dua,   si  Putih  dan  si Hitam.  Aku tidak
                  pernah  merasa  kucing  itu  ha-nya  satu    seperti  yang  dilihat  Papa,  Mama,
                  tetangga,  atau  ke-ra-bat.  Me-reka  hanya  tahu  aku  punya  seekor  kucing
                  anggora  lucu.


                         ***

                         ”Ra!”  Suara  Mama  mengagetkanku.  Mama  sudah  berdiri  di  depan
                  pintu  kamar.  Aku  menoleh.


                         ”Aduh,  berapa  kali  lagi  Mama  harus  bilang.  Cepat  ganti  baju,  lalu
                  makan  siang.  Kita  harus  jalan  sekarang.  Kalau  kesorean,  nanti  toko
                  elektroniknya  tidak  bisa  mengantar  mesin  cucinya  hari  ini.  Mama  juga  harus
                  masak  makan  malam.”  Mama  seperti­nya  ter­lihat  marah,  menatapku,  tidak
                  mengerti  kenapa  aku  masih  mengena-kan  seragam





                                                                            http://cariinformasi.com
   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44   45