Page 51 - BUMI TERE LIYE
P. 51
TereLiye “Bumi” 48
Mama tidak berkomentar lagi, hanya tatapan matanya yang lembut
seolah berkata sebaiknya Papa mandi dulu, makan malam, istirahat, semua
masalah pasti bisa diselesaikan.
”Belum lagi, pemilik perusahaan marahmarah, dan Papalah yang
paling kena batunya. Papa yang menyarankan membeli mesin itu,
memeriksa spesifikasinya, memilih vendornya, dia bahkan berteriak-ter iak
mengancam akan memecat siapa saja yang tidak becus. Hari ini melelahkan
sekali, mengurus buruh yang terluka, juga mengurus bos besar yang
mengamuk. Papa minta maaf lupa menelepon. Ponsel Papa ketinggalan di
kantor, tidak tahu kalau Ra dan Mama sudah menelepon berkali-kali, cemas
menunggu makan malam bersama.” Papa me-nyisir rambut-nya dengan
jemari, menatap Mama, merasa ber-salah.
Mama tersenyum anggun. ”Ya sudah. Sekarang Papa cepat mandi,
pasti jadi lebih segar.”
Aku yang mengintip dari balik jari tengah dan telunjuk di anak tangga
menghela napas. Kalau sudah begini, pasti urusan di kantor besok-besok
akan tambah rumit. Kalau sudah begini, siapa pula yang sedang berusaha
memenangkan hati pemilik perusahaan dengan konser musik? Aku beranjak
naik ke lantai atas, kembali ke kamar.
”Papa sudah makan?”
”Belum sempat. Tepatnya tidak kepikiran. Mama sudah?”
”Belum. Hanya Ra yang sudah. Dia purapura mau pingsan bahkan
sejak pukul tujuh. Anak itu semakin susah disuruh makan malam bersama.”
Suara bergurau Mama terdengar lamat-lamat, juga tawa Papa yang
lelah. Aku pelan mendorong pintu kamarku. Aku menatap kamarku yang
gelap, menyisakan selarik cahaya dari lampu jalanan. Hujan deras terus
turun di luar. Si Putih tidur me-ringkuk di pojokan kasur. Jam dindin g
berbunyi pelan detik demi detik. Aku menghela napas, melangkah ke ranjang
sambil menatap cermin besar di meja belajar.
Eh? Bukankah itu...? Aku hampir berseru kaget. Remang cahaya lebih
dari cukup untuk melihat pantulan cermin, dan lihatlah, ada si
http://cariinformasi.com