Page 55 - BUMI TERE LIYE
P. 55

TereLiye “Bumi” 52



                  kecil  (sekarang  sudah  remaja),  membuatku  ikut  memikirkan,  cemas,
                  meng-ganggu  jam  belajarku.  Biarkan  Ra  menikmati  masa-masa   terbaiknya,
                  demikian  penjelas-an  Mama  yang  aku  tahu  dari  meng-intip  di  balik  sela
                  jemari.  Biarkan  masalah-masalah  itu  hanya  ada   pada   Mama   dan  Papa.

                         Aku  berlari  kecil  melewati  lapangan  sekolah  yang  masih  sepi.
                  Sepertinya  aku orang  pertama  yang  tiba  di  sekolah  pagi  ini.

                         Aku  menaiki  anak  tangga,  berjalan  di  lorong  lantai  dua,  masuk  ke
                  kelas.  Lengang.  Aku  menuju  meja,  meletakkan  tas,  melihat  se-kitar  yang
                  kosong,  dan  melangkah  ke  lorong  depan  kelas.  Se-pertinya  aku  lebih  baik
                  menunggu  teman-teman  di sini,  sambil  menatap  lapangan  sekolah.  Mungkin
                  asyik  menatap  bangunan  sekolah  yang  lengang.

                         ”Pagi,  Ra.”  Suara  khas  itu  membuatku  menoleh.

                         Itu bukan  suara  Seli.  Itu suara  Ali.  Tapi  sejak  kapan  si biang  kerok  ini
                  ramah  menegur  orang  lain?  Biasanya  dia  tidak  peduli,  jalan  seradak-
                  seruduk,  mencari  masalah.  Sejak  kapan  pula  dia  datang  sepagi  ini?
                  Bukankah  biasanya  dia  nyaris  terlambat?

                         ”Kamu  tidak  menjawab  salamku,  Ra?”  Ali  menatapku                    sambil

                  cengar-cengir,  tidak  membawa  tas,  menepuk-nepukkan  tangannya  untuk
                  membersihkan  debu.  Sepertinya  dia  habis  melakukan  se-suatu,  habis
                  memasang  sesuatu,  entahlah.

                         ”Kamu  sudah  datang  dari  tadi?”  aku menyelidik.

                         ”Setengah  jam  lalu.  Gerbang  sekolah  malah  masih  dikunci.”  Ali
                  tertawa.  ”Kamu  belum  menjawab  salamku,  Ra?  Tidak  sopan  lho,  disapa
                  baik-baik  tapi  malah  dijawab  dengan  pertanyaan.”

                         ”Bodo  amat,”  jawabku,  lalu  kembali  menatap  lapangan.


                         ”Bagaimana  kabar  kucingmu?  Si  Hitam  sudah  ketemu?”

                         Aku refleks  menoleh,  mematung  sejenak,  menatap  Ali  tidak   mengert i.













                                                                            http://cariinformasi.com
   50   51   52   53   54   55   56   57   58   59   60